Jumat, 22 Februari 2013

Belajar Menahan Hawa Nafsu Dari Sayyid Quthb

Belajar Menahan Hawa Nafsu Dari Sayyid Quthb
 
bergabung dengan barisan gerakan Al Ikhwan al Muslim dan disebut-sebut sebagai ideolog kedua

Oleh: Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi

BULAN Ramadhan adalah momentum bagi umat manusia melatih dirinya mengendalikan hawa nafsu. Hawa nafsu adalah kecenderungan jiwa kepada sesuatu baik itu berupa kebaikan atau keburukan. Setiap ayat Al Qur’an yang menyebutkan tentang hawa nafsu selalu dalam bentuk pencelaan di samping mengingatkan agar kita tidak mengikuti dan cenderung kepadanya. Di sinilah kita ditempa oleh Allah Shubhanahu Wata’ala di bulan yang suci. Bulan di mana setiap orang beriman dituntut untuk mendahulukan kewajibannya dengan mengendalikan hawa nafsunya.
Salah satu ibrah menahan hawa nafsu itu dapat kita petik dari seorang ulama dan sastrawan kenamaan asal Mesir. Dialah Sayyid Quthb. Kisah menahan hawa nafsu dari penulis tafsir Fi Zhilalil Qur’an ini dimulai saat ia menuju Amerika Serikat. Ia menumpang sebuah kapal laut dari Mesir menuju benua Amerika dalam rangka melakukan tugas penelitian.  Kisah ini tertuang dalam buku "Amarieeka Minaddaghili", karangan Dr. Abdul Sholah Fatah Al Kholidi yang menulis secara khusus pengalaman Sayyid Quthb di negeri Paman Sam.
Al Kholidi menulis bahwa Sayyid Quthb yang baru saja ditolak cinta oleh pujaan hatinya (calon istri), harus mengalami ujian silih berganti. Cobaan untuknya pertama kali terjadi ketika seorang wanita cantik tiba-tiba mengajaknya berhubungan seksual di sebuah kamar kapal. Hal itu terjadi tidak lama setelah Sayyid Quthb memasuki kamarnya untuk istirahat.
Saat itu suara seorang perempuan terdengar mengetuk pintu kamarnya. Sayyid Quthb lalu membukanya. Tak disangka, ternyata di hadapannya telah berdiri seorang wanita setengah telanjang dengan gaya merangsang. Sang wanita itu menyapa Sayyid lewat bahasa Inggris, "Bolehkah saya menjadi tamu tuan malam ini?"
Sayyid terperangah. Ia hampir saja kalap. Ia sadar sedang diuji oleh Allah, karena Sayyid sudah bertekad menyerahkan seluruh jiwa dan raganya hanya untuk Islam. “Saya bermaksud menjadi orang kedua, yakni orang Islam yang loyal dan kukuh, dan Allah berkehendak menguji saya: apakah maksud dan niat saya ini benar, atau hanya sekedar bisikan hati saja?” gumam Sayyid membatin.

Namun bukan Sayyid Quthb namanya jika tidak tahu bahwa inilah ‘jawaban’ yang diberikan oleh Allah ketika ia betul-betul berjanji ingin memperbaiki diri. Ia lekas mengangkat kepalanya, lalu menolak rayuan wanita itu secara halus. Namun, wanita itu bergeming. Melihat kondisi tidak berubah ke arah lebih baik, Sayyid mengatakan, “Di kamar hanya ada satu tempat tidur, maaf.”

Mendengar jawaban Sayyid, wanita itu semakin mendesak untuk masuk. Ia bak singa lapar ingin menerkam mangsanya lewat tampilan sensual penuh godaan. Pada titik itulah, Sayyid bersikap lebih tegas. Lewat iman yang teguh, ia mengusir sang wanita menjauh dari kamar.

Begitu lulus dari ujian yang pertama, Sayyid Quthb segeramengucap: “Alhamdulillah, saya merasa bangga dan bahagia, karena saya telah berhasil memerangi hawa nafsu. Dengan demikian nafsu itu berjalan di atas jalan tekad yang saya tentukan.”

Wanita itulah senjata pertama yang dirancang Amerika untuk menggoda dan meruntuhkan iman Sayyid. Namun, Allah lebih mengetahui ketetapan jalan yang beliau pilih, yakni jalan Allah, jalan keimanan, jalan cahaya Rabbani yang terang menyala-nyala hingga Allah memberinya taufik dan pertolongan dalam memenangkan ujian hawa nafsu itu.
Tarbiyah Sejati
Namun bukan Amerika namanya jika masih belum jera memasukkan tiap muslim ke lubang galiannya. Mereka kembali memperalat seorang gadis guna menaklukan iman Sayyid. Dari satu universitas ke universitas lain, mereka setia menguntit setibanya Sayyid di Amerika dan mulai meneliti berbagai kampus di sana hingga datang seorang wanita yang berdebat dengannya tentang perlunya free sex di Institut Keguruan di Colorado dan Galersi.

Wanita itu menjelasakan tentang indahnya kehidupan seks di Amerika. Ia menawarkan Sayyid untuk tidak ragu mencicipinya. Sayyid sadar, ia kembali diuji. Namun lagi-lagi, cobaan itu kembali berhasil dilaluinya. Ia bergeming dan tidak tergoda sedikitpun atas tawaran sang gadis.

Sudah selesaikah ujian untuk Sayyid? Ternyata tidak. Cobaan ketiga datang dari seorang pegawai hotel yang dengan promosi cabulnya menawarkan wanita-wanita cantik. Kembali, Sayyid Quthb hanya tersenyum dan menolak tawaran hina itu.

Bayangkan itu semua terjadi di tengah kondisi negara bebas seperti Amerika dan dalam kondisi Sayyid sedang rindu akan sosok pendamping. Tak sedikit pemuda Muslim yang hanya dalam waktu satu hingga dua bulan terjebak atas tawaran memikat dari pesona sensual Amerika. Inilah hasil dari tarbiyah sejati dari Sayyid Quthb yang sejak kecil telah dididik oleh ibunya lewat untaian rabbani.

Ujian itu terus silih berganti dayang. Kali ini seorang pemuda Arab yang mencoba mempengaruhi Sayyid dengan ceritanya tentang pergaulan bebas yang dilakukannya dengan wanita-wanita Amerika.

Pemuda itu menceritakan bak setan tengah mempengaruhi manusia untuk menjajal perilaku tercela, walau hanya sedetik berselimut syahwat jelata. Lagi-lagi, Sayyid bersyukur. Ia mengucapkan alhamdulillah, betapa Allah amat sayang kepadanya. Godaan demi godaan mampu ia tepis lewat sebongkah cahaya Iman yang terpatri dalam hati.

Ada pula seorang perawat yang menceritakan kelebihan-kelebihan yang didamba oleh setiap laki-laki. Juga upaya seorang mahasiswi untuk menghapus rasa jijik pada pikiran beliau terhadap hubungan seksual yang kotor. Ia menganggap bahwa hubungan seksual tidak lebih dari praktek hubungan biologis yang tidak ada alasan bagi manusia untuk mencelanya, baik dari segi etika maupun lainnya. Sekali lagi, iman Sayyid sangat tebal. Itulah kunci ia mampu menjadi pria sejati walaupun hingga akhir hayat ia tidak beristri. Kebathilan demi kebathilan tersebut, tak mampu menghanyutkannya kepada dunia. Subhanallah.

Itulah Sayyid Quthb yang kelak sepulangnya dari Amerika, beliau bergabung dengan barisan gerakan Al Ikhwan al Muslim dan disebut-sebut sebagai ideolog kedua Ikhwan sekaligus mujahid yang tercecer darah syuhada dalam hidupnya. Semoga Allah memberikan menempatkannya bersama kafilah Syuhada di jannah Allahuta’ala. Allahuma Aamiin.*
Penulis adalah aktifis Kajian Zionisme Internasional


http://www.hidayatullah.com/read/23966/27/07/2012/belajar-menahan-hawa-nafsu-dari-sayyid-quthb.html 

Kamis, 21 Februari 2013

Asal Usul Nama Negeri Kuok Kab. Kampar

ASAL USUL NAMA NEGERI KUOK



Pada berabad-abad yang lalu negeri Kuok sekarang belum bernama Kuok. Zaman dulu namanya Rona Kobun Bungo. Sebahagian besar daratan rendah dan lembah-lembah yang timbul sekarang, dulu masih digenangi air. Yang timbul pada umumnya bukit-bukit. Disekitar tempat ini banyak bukit. Seperti Bukit Tagaro, Bukit Lindung Bulan, Bukit Kincung, Bukit Suligi, Bukit Sago, Bukit Koto Semiri.
Begitupun sungai Kampar sekarang, dulunya disebut sungai Embun. Sungai Embun tersebut masih kecil. Di tebing kiri-kanan pinggiran sungai itu ditumbuhi pohon-pohon kayu dan semak belukar yang daunnya merunduk ke dalam sungai tersebut. Tapi, lama-kelamaan sejak penduduk pinggiran sungai itu menebangi kayu untuk perumahan dan ladang serta kebun, maka tanah banyak longsor dan air cepat mengalir ke sungai Embun itu. Akibatnya tebing sungai itu banyak runtuh, sehingga sungai itu menjadi lebar. Puluhan tahun kemudian sungai Embun itu semakin besar dan namanya pun bertukar dengan Kampar, jadilah sungai Kampar.
  Waktu terus berjalan, tahun berganti tahun, suasana terus berubah. Penduduk Rona Kobun Bungo semakin banyak dan menempati daerah sekitarnya. Dari kehidupan masyarakat yang turun-temurun, setelah mengalami berbagai peristiwa, maka secara berangsur berubahlah nama Rona Kobun Bungo menjadi negeri Kuok.
Mendengar kisah dari orang tua-tua, penulis memperoleh tiga macam perihal yang menyebabkan negeri itu bernama Kuok, yakni sebagai berikut:
Sebahagian orang mengatakan bahwa di daerah perairan Rona Kobun Bungo itu dulunya ada sebatang kayu yang amat besar yang terkenal mempunyai kesaktian. Kayu itu disebut orang kayu kuok.
Sebahagian lagi orang menceritakan bahwa zaman dahulu, tak jauh di mudik pasar Kuok sekarang ada tukang membuat kayu kuok yang dipasangkan ke tengkuk kerbau untuk membajak. Oleh karena disitulah satu-satunya tempat orang memesan alat bajak (kayu kuok) itu, maka tempat itu menjadi terkenal dengan tempat ‘Kuok’.
Dalam pada itu, sementara orang yang hilir-mudik di sungai Kampar pada waktu itu lain pula pendapatnya. Maklumlah sewaktu itu sungai Kampar berlaku sebagai sarana perhubungan. Barang-barang dagangan, baik barang makanan maupun hasil hutan, dan lain-lain hilir-mudik di sungai itu dengan kendaraan perahu rakit.
Konon kiranya di mudik Rantau Berangin sekarang, dipangkal jembatan panjang ke seberang ada bukit yang bernama bukit Labuhan Batu. Kabarnya dulu, di pinggiran bukit itu sering berlabuh kapal. Itu sebabnya dinamakan bukit Labuhan Batu. Kebetulan tebing sungai Kampar yang ada di kaki bukit itu terjal begitupun tebing yang di seberangnya beberapa panjang juga terjal. Pada tebing yang bertimbal terjal itu luas sungai Kampar di sana lebih sempit dan airnya lebih dalam. Lumrahnya bila perairan itu dilalui oleh sampan atau rakit yang arah ke hulu atau ke ulak, maka air berombak ke pinggir kiri dan ke pinggir kanan. Oleh karena tebing itu terjal  kedua belah pihaknya dan jaraknya lebih dekat dari sumber ombak, maka ombak tersebut lebih kuat menghantam tebing itu. Tidaklah heran, jika pada tebing itu agak lembut tanah atau batunya, maka pada tempat itu akan cepat terkuras atau runtuh.
Akibatnya tempat itu jadi berlubang, makin lama lubang itu semakin dalam. Di antara beberapa tebing yang berlubang atau berlekuk itu ada yang lebih besar lekuknya. Bila ada kendaraan yang lalu di daerah itu, maka rangkaian ombak akan menerpa tebing pinggiran sungai itu. Dan tiba tentang tebing yang berlekuk besar itu, air itu berbunyi, kuok, kuok, kuok. Demikianlah berlaku sepanjang waktu. Setiap kendaraan yang lalu disitu.
Bagi orang yang selalu hilir-mudik di tempat itu, telinganya terbiasanya dengan bunyi kuok…kuok, kuok itu. Akhirnya tempat atau perantauan sekitar tempat yang melahirkan bunyi, kuok, kuok… itu disebut orang Kuok. Dengan demikian daerah yang dihuni orang sekitar tempat itu yang di dalamnya Rona Kobun Bungo, maka sejak itu nama Rona Kobun Bungo pun berangsur hilang dan populerlah nama daerah tersebut dengan Negeri Kuok hingga sampai sekarang ini.
Sumber :
Buku Buluh Perindu: Kumpulan Cerita Rakyat Kampar.
Pengarang Abdul Riva’i Taloet, BA.
Diterbitkan oleh SSE Kab. Kampar Tahun 2005.
dari situs:
http://tscumum2011.blogspot.com/2012/05/asal-usul-nama-negeri-kuok-di-kab.html

Sabtu, 16 Februari 2013

Mitos Kebesaran Majapahit

Mitos Kebesaran Majapahit

Majapahit adalah sebuah kerajaan Hindu-Budha yang pernah berdiri di Jawa Timur pada 1293 hingga 1520. Rajanya yang pertama bernama Wijaya, menantu raja terakhir Singasari, Kertanegara. Konon Majapahit mengalami puncak kejayaan pada masa raja keempat, Hayam Wuruk (1350-1389). Akan tetapi setelah meninggalnya raja ini, Majapahit tidak mampu mempertahankan kejayaannya dan akhirnya mulai mengalami kemunduran.
Sejarah yang rinci mengenai Majapahit sangat tidak jelas. Sumber-sumbernya yang utama adalah prasasti-prasasti berbahasa Jawa kuno, naskah Negarakertagama dan Pararaton, serta beberapa catatan berbahasa Cina. Sebagai historiografi tradisional, Negarakertagama dan Pararaton mengandung kebenaran historis bercampur dengan kebenaran mistis. Artinya, kedua naskah kuno ini selain berisi rekaman sejarah juga mengandung unsur-unsur mitos, legenda, dongeng, dan sebagainya. Dalam hal ini tidak dibedakan antara fakta peristiwa yang sesungguhnya dengan “fakta” rekaan pengarangnya.
Oleh karena itu, beberapa sejarawan menyangsikan kredibilitas Negarakertagama dan Pararaton. Prof. C.C. Berg, misalnya, memandang kedua naskah itu sebagai dokumen dongeng-dongeng politik-religius, bukan dokumen sejarah. Menurutnya, naskah-naskah itu tidak dimaksudkan untuk mencatat masa yang sudah lampau, tetapi lebih dimaksudkan untuk menentukan kejadian-kejadian di masa mendatang dengan sarana gaib. Sementara itu, W.F. Stutterheim mengingatkan agar kita berhati-hati terhadap keterangan-keterangan yang terdapat dalam Negarakertagama maupun Pararaton.
Negarakertagama dikarang oleh penyair keraton Prapanca pada 1365 yang, sudah tentu, tidak mau mencatat hal-hal yang kurang patut terhadap diri raja atau keluarga kerajaan. Sebaliknya, ia suka melebih-lebihkan hal-hal yang dapat mempertinggi kehormatan raja serta keluarganya yang melindungi penyair keraton. Pararaton dikarang beberapa abad kemudian (sekitar 1613 M) setelah terjadinya peristiwa-peristiwa yang bersangkutan menurut berbagai cerita lama dari macam-macam sumber.
Meskipun demikian, Negarakertagama dan Pararaton tetap dipakai sebagai sumber utama penulisan sejarah Majapahit. Sebab, tidak ada sumber tertulis lokal lainnya selengkap kedua naskah ini. Dari sinilah mitos kebesaran Majapahit itu berasal.
Dalam pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah, Majapahit digambarkan sebagai kerajaan besar yang pernah membawa harum nama Indonesia sampai jauh ke luar wilayah Indonesia. Majapahit dianggap berhasil mempersatukan seluruh wilayah Nusantara. Wilayah kekuasaannya membentang dari Sumatra hingga Papua. Kita patut mempertanyakan ulang, “Benarkah fakta sejarah itu?”
Kitab Negarakertagama memang menyebutkan daerah-daerah taklukan Majapahit. Ada tidak kurang dari 98 nama daerah yang dikatakan bergantung kepada Majapahit. Daerah-daerah tersebut diwajibkan membayar upeti. Menurut W.F. Stutterheim dalam Het Hinduisme in den Archipel, daerah yang dekat dari pusat kekuasaan Majapahit, seperti Bali, selalu terancam dengan serangan tentara yang dikirimkan untuk menghukum jika tidak membayar upeti. Tetapi bagi daerah-daerah yang jauh sekali letaknya, kewajiban tadi tentu banyak yang disia-siakan. Selama Pemerintah Pusat masih kuat dan mempunyai alat kekuasaan yang cukup, upeti akan terus mengalir. Akan tetapi apabila kekuasaan menjadi kurang kuat, upeti pun juga berkurang, sehingga sumber penghasilan menjadi kering sama sekali.
Kekuasaan Majapahit yang diakui orang biasanya hanya di daerah pantai. Di daerah yang letaknya lebih ke pedalaman, kepala suku dan raja daerah tersebut merdeka sama sekali dan tidak merasa terikat kewajiban membayar upeti dengan Majapahit. Bahkan, daerah Sunda, yang letaknya masih satu pulau dengan Majapahit, tidak pernah takluk dan menjadi wilayah bawahan kerajaan itu. Semua ini menunjukkan bahwa penaklukan yang dilakukan Majapahit adalah penaklukan semu. Banyak daerah yang tidak benar-benar takluk dan tunduk kepada Majapahit.
Kalaupun beberapa kerajaan mau membayar upeti, itu lebih didorong oleh alasan pragmatis. Bernard H.M. Vlekke dalam Nusantara: A History of Indonesia menyatakan, sebagian besar penguasa kecil di kerajaan-kerajaan pantai merasa bahwa hubungan mereka dengan Jawa (Majapahit) patut dibanggakan dan sekaligus menguntungkan. Para penguasa, misalnya kepala-kepala suku di pulau-pulau kecil Maluku, mungkin saja berusaha tampak penting di mata pejabat-pejabat Jawa dengan mendaftarkan banyak tempat yang lebih jauh dan terpencil sebagai daerah bawahan mereka karena semakin panjang daftarnya, semakin besar pula kejayaan mereka. Omong kosong mereka mungkin akan mengakibatkan biaya yang lebih besar dalam jumlah rempah yang harus dibayarkan sebagai upeti. Akan tetapi, hal ini juga bisa meningkatkan “penghargaan” yang akan mereka terima dalam bentuk barang-barang Jawa yang mereka butuhkan sendiri atau untuk dijual eceran di antara orang-orang yang tinggal di pulau-pulau di timur yang tidak terbilang banyaknya itu.
Klaim bahwa Majapahit berhasil mempersatukan seluruh wilayah Nusantara agaknya menjadi sesuatu yang kontradiktif jika kita mencermati keadaan intern Majapahit sendiri. Majapahit selalu dilanda pemberontakan dan konflik intern. Sebut saja antara lain: pemberontakan Rangga Lawe (1309), pemberontakan Sora (1311), pemberontakan Juru Demung (1313), pemberontakan Gajah Biru (1314), pemberontakan Nambi (1316), pemberontakan Semi dan Kuti (1319), pemberontakan Sadeng (1331), dan perang Paregreg (1401-1406). Yang terakhir ini bahkan melemahkan kekuasaan Majapahit dengan drastis. Jika mempersatukan intern kerajaan saja tidak bisa, apalagi mempersatukan Nusantara yang jauh lebih luas? Menurut Vlekke, pada kenyataannya kekuasaan riil raja-raja pertama Majapahit sangat jauh dari klaim tersebut.    
Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350-1389), memang Majapahit berhasil menghentikan konflik intern dan meraih puncak kejayaannya. Banyak daerah dipaksa takluk di bawah kekuasaannya. Meskipun demikian, luas seluruh daerah tersebut tetap tidak seluas Indonesia hari ini. Persatuan yang dipaksakan itu pun hanya berlangsung selama 39 tahun. Umur Majapahit juga hanya 227 tahun. Selama itu, Majapahit hanya berkuasa di bidang politik, tapi tidak berhasil mengembangkan pengaruh budayanya ke seluruh wilayah Nusantara. (***)

Sumber:
http://www.insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=144:mitos-kebesaran-majapahit&catid=21:sejarah&Itemid=19 

Jumat, 15 Februari 2013

Penegak Syariat Islam di Ranah Minang

Tuanku Nan Renceh



Penegak Syariat Islam di Ranah Minang


PANGLIMA kaum paderi yang tegas dan penuh wibawa. Berhasil melaksanakan pemurnian Islam ke setiap nagari di Ranah Minang, sampai-sampai kewajiban menunaikan shalat dikontrol sangat ketat

Kejayaan Islam di Ranah Minang (Sumatera Barat) pernah mencapai puncaknya ketika kaum paderi (ulama) dipimpin oleh 'Abdullah Tuanku Nan Renceh. Kekuasaannya menghunjam sampai lembaga pemerintahan nagari yang diberi hak otonom oleh Kerajaan Minangkabau. Kerajaan tersebut kala itu berpusat di Pagaruyung.

Pusat kekuasaan kaum paderi sendiri berada di teritorial Luhak (Kabupaten) Nan Tuo, yakni Luhak Agam, Tanah Datar, dan Luhak Nan Limopuluah Dikoto. Atau, seluas wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten Agam, Tanah Datar, dan Kabupaten 50 Kota sekarang.

Pada masa itu, kaum paderi benar-benar memegang kendali pemerintahan dan kemasyarakatan untuk mengamalkan syariat Islam. Kondisinya tak jauh berbeda ketika jazirah Arab dikuasai kaum Wahabi yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1787).

Sejarah kelahiran pergerakan kaum paderi di Ranah Minang memang tak dapat dilepas dari pergerakan kaum Wahabi di jazirah Arab. Pergerakannya berawal pada tahun 1802 ketika “Tiga Serangkai” pulang dari Makkah, yakni Haji Miskin dari Pandai Sikek (Pandai Sikat) Luhak Agam, Haji Muhammad Arief dari Sumanik, Luhak Tanah Datar (dikenal dengan Haji Sumanik), dan Haji Abdurrahman dari Piobang, Luhak Limopuluah Dikoto (dikenal dengan Haji Piobang). Ketiganya dikenal dengan sebutan Haji Nan Tigo. Mereka mendalami ajaran Wahabi saat belajar di tanah suci Makkah hampir 10 tahun lamanya.

Panglima Paderi

'Abdullah adalah putra dari Incik Rahmah, pemuka suku Koto Nagari Kamang Mudik, yang lahir di Jorong Bansa, Nagari Kamang Mudik, Luhak Agam, tahun 1762. Sejak kecil, Abdullah senantiasa giat memperdalam ilmu agama.

Ia merasa tidak cukup hanya belajar pada guru mengaji tingkat nagari sebagaimana tradisi anak muda seusianya kala itu. Abdullah melakukan terobosan dengan belajar di kampung lain, tepatnya di surau Tuanku Tuo di Cangkiang, Luhak Agam.

Tamat dari pendidikan model surau, 'Abdullah masih belum merasa puas. Dia bukannya kambali ke kampung halaman, tetapi meneruskan perjalanan ke Ulakan, Padang Pariaman.

Hampir lima tahun menuntut ilmu, barulah 'Abdullah kembali ke Jorong Bansa. Begitu sampai di kampung, 'Abdullah mendengar kabar ada ulama besar di Pandai Sikek yang baru pulang dari Makkah. Namanya Haji Miskin. 'Abdullah yang saat itu baru tiba di rumah langsung saja berangkat ke Pandai Sikek.

Sesampai di sana, betapa kecewanya 'Abdullah karena Haji Miskin tak ditemukan. Dia lebih kecewa lagi ketika mengetahui bawa Haji Miskin yang baru pulang itu hanya sebentar berada di Pandai Sikek. Ternyata tokoh yang ia buru itu harus pergi lagi karena dakwahnya tak diterima oleh masyarakat kampungnya sendiri.

Bagi 'Abdullah, kabar “diusirnya” Haji Miskin justru membuat penasaran. Pikirnya, kalaulah apa yang dibawa Haji Miskin tak terlalu istimewa, tentulah perlawanan dari orang kampung sendiri tidak sehebat itu.

Ternyata benar. Begitu ketemu Haji Miskin di tempat pengungsiannya, Nagari Ampek Angkek (Empat Angkat), Abdullah mendapat pelajaran tentang pemurnian gerakan Islam. Ajaran ini sama dengan yang digerakan oleh kaum Wahabi di jazirah Arab.

Haji Miskin memberikan pengajian secara berkesinambungan, dibantu oleh dua karibnya yakni Haji Piobang dan Haji Sumanik. Lalu, bergabung pula beberapa tokoh Islam lainnya, seperti Tuanku Kubu Sanang, Tuanku Lintau, Tuanku Ladang Laweh (Ladang Luas), Tuanku Dikoto Padang Lua (Padang Luar), Tuanku Galung, Tuanku Dikoto Ambalau, dan Tuanku Dilubuk Aua (Lubuk Aur). Mereka masing-masing adalah ulama di kampungnya.

Para ulama itu kemudian berbai’at kepada Haji Miskin untuk melancarkan gerakan penegakan syariat Islam yang mereka beri nama gerakan kaum paderi. Mereka ini kemudian dikenal sebagai Dewan Pimpinan Paderi dengan julukan “Harimau Nan Salapan” (Harimau yang Delapan). 'Abdullah ditunjuk sebagai pimpinan merangkap panglima perang dengan gelar Tuanku Nan Renceh Al-Mujaddid. Sementara Haji Miskin diangkat sebagai hakim.

Menurut Angga Parlindungan dalam bukunya Tuanku Rao, gerakan Paderi pimpinan Nan Renceh adalah gerakan sistemik dengan angkatan perang yang mirip angkatan perang Turki. Memang, Nan Renceh beberapa kali mengirimkan beberapa prajurit terbaiknya untuk belajar bertempur di Kesultanan Turki.

Kala itu ilmu peperangan Kesultanan Turki sudah maju. Pasukan Jenitsar Cavalary Turki pernah menghalau dan menghancurkan tentara Napoleon Bonaparte. Di antara tentara paderi yang dikirim tersebut adalah Tuanku Kulawat. Ia malah sempat berperang bersama tentara Turki melawan tentara Napoleon tahun 1809 sampai 1812. Kemudian, Tuanku Gapuak (1809-183), Tuanku Rao (1812-1815), dan Tuanku Tambusai (1817-1821).

Perjuangan kaum paderi, seperti dicatat oleh Haji Piobang, memiliki tiga target fase. Pertama, jangka tujuh tahun sudah harus merebut seluruh pulau Andalas dan Semenanjung Malaya. Kedua, jangka tiga tahun kemudian sudah harus merebut kekuasaan di Pulau Jawa dan pulau-pulau kecil di timurnya. Ketiga, merebut seluruh tanah Jawi (Nusantara), kemudian bekerjasama dengan pasukan Dato' Haji Onn. Pasukan yang terakhir ini kabarnya sudah berhasil merebut kekuasaan di Filipina Selatan, Kalimantan Utara, dan Kepulauan Sangihe.

Tegas Tegakkan Hukum Islam

Selama masa kepemimpinan 'Abdullah Tuanku Nan Renceh (1762-1825), menurut sejarawan Ampera Salim, kaum paderi berhasil melaksanakan pemurnian Islam dan masuk ke setiap ruang lingkup pemerintahan nagari. Sampai-sampai kewajiban menunaikan shalat dalam kehidupan masyarakat setiap nagari dikontrol dengan sangat ketat.

Usai shalat Shubuh di surau-surau, Nan Renceh menurunkan Laskar Paderi keliling kampung. Mereka bertugas memeriksa batu tapakan yang sudah disediakan di setiap pintu masuk rumah penduduk. Apabila batu itu basah, diketahuilah bahwa penghuni rumah sudah melaksakan shalat Shubuh. Tapi bila tidak, penghuni rumah akan langsung diinterogasi.

Andai belum shalat karena tertidur, maka diperintahkan segera menunaikan shalat. Bila tiga kali didapati tidak juga menunaikan shalat--ditandai dengan batu tapakan yang tidak basah--maka penghuni rumah harus bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Akan tetapi bila kemudian terbukti meninggalkan shalat kembali, maka penghuni rumah harus meninggalkan nagari.

Nan Renceh juga berhasil membudayakan pakaian jubah putih bagi laki-laki dan kerudung bagi perempuan. Bagi mereka yang akan dipilih menjadi wali nagari (kepala pemeritahan nagari) harus mampu menjadi imam shalat berjamaah.

Hukum Islam yang ditegakkan kaum Paderi dalam masa kepemimpinan Nan Renceh sangat tegas dan berwibawa. Ampera Salim juga menyebutkan, pernah suatu kali etek (adik ibu/ayah) Nan Renceh sendiri tak mengindahkan aturan yang diberlakukan Pemerintah Negara Darul Islam Minangkabau. Dia enak saja meneruskan kebiasaan minum tuak dan menghisap candu.

Memang, orang dekat Nan Renceh, yakni Hassan Nasution, pernah menegur si etek agar menghentikan kebiasaannya. Tapi dia tetap menolak. Bahkan ketika ditawarkan agar diungsikan ke Kuantan, si etek tegas-tegas menolak.

Demi tegaknya wibawa hukum Islam, si etek divonis hukuman mati. Eksekusi dilakukan dengan pedang oleh Haji Idris dan Haji Hassan. Kejadian ini berlangsung dalam tatapan tenang seorang Tuanku Nan Renceh. Baginya, penegakan wibawa hukum Islam lebih peting daripada saudara sendiri yang mengingkarinya.*/ Dodi, sahid 


Red: Panji Islam


Sumber:
http://www.hidayatullah.com/read/18201/27/07/2011/penegak-syariat-islam-di-ranah-minang.html

Siapa Menyatukan Nusantara?

Siapa Menyatukan Nusantara?

Sejumlah pemikir dan tokoh di Indonesia pernah mengungkap teori “lapis-budaya”. Bahwa, kata mereka, Pancasila sebenarnya digali dari bumi Indonesia asli. Bahkan, seorang tokoh ternama, mengaku, ia menggali Pancasila dari bumi Indonesia yang paling dalam, yakni zaman pra-Hindu.
Teori “lapis budaya”, misalnya, pernah diungkap oleh Pendeta Dr. Eka Darmaputera, dalam disertasi doktornya yang berjudul Pancasila and the Search for Identity and Modernity, di Ph.D. Joint Graduate Program Boston and Andover Newton Theological School, tahun 1982. Eka menyebutkan adanya tiga lapisan budaya di Indonesia, yaitu Indonesia asli, India, dan Islam. Tentang lapisan asli Indoenesia, Eka menyimpulkan:
“Lapisan asli Indonesia merupakan sesuatu yang amat sulit, bila tidak dapat dikatakan mustahil, untuk dijabarkan dengan lengkap dan pasti. Kesepakatan yang ada ialah, bahwa sebelum datangnya peradaban India ke Indonesia, ia telah mencapai tingkat kebudayaan yang relatif tinggi dan berakar cukup dalam. Secara umum, lapisan ini dapat digambarkan sebagai berikut: dasar peradabannya adalah pertanian (sawah dan ladang); struktur sosialnya adalah desa; kepercayaan agamaniahnya adalah animisme; …”  (Eka Darmaputera,   Pancasila: Identitas dan Modernitas (Jakarta: Badan Penerbit Kristen Gunung Mulia, 1997).
Upaya untuk mengaitkan Indonesia dengan budaya asli pernah ditentang keras oleh Prof. Sutan Takdir Alisyahbana. Tapi, tokoh Pujangga Baru ini justru mengajak bangsa Indonesia untuk menengok ke Barat:  “Dan sekarang ini tiba waktunya kita mengarahkan mata kita ke Barat.” Namun, Takdir menepis tuduhan bahwa ia mengarahkan Indonesia agar membebek pada Barat. Katanya: “Saya tidak pernah berkata, bahwa generasi baru tidak usah tahu kebudayaan lama. Saya hanya berkata, bahwa generasi baru harus bebas, jangan terikat kepada kebudayaan lama.”  (Lihat, buku Polemik Kebudayaan (Jakarta: Pustaka Jaya, 1977, cet.ke-3).
Upaya untuk membangun citra bahwa Indonesia mengalami zaman kejayaan saat berada di zaman pra-Islam, secara sistematis dikembangkan oleh para orientalis. T. Ceyler Young, seorang orientalis membuat pengakuan: “Di setiap negara yang kami masuki, kami gali tanahnya untuk membongkar peradaban-peradaban sebelum Islam. Tujuan kami bukanlah untuk mengembalikan umat Islam kepada akidah-akidah sebelum Islam tapi cukuplah bagi kami membuat mereka terombang-ambing antara memilih Islam atau peradaban-peradaban lama tersebut”. (Muhammad Quthb, Perlukah Menulis Ulang Sejarah Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995).
Mohammad Natsir, seorang pahlawan nasional,  menyebut upaya mengecilkan peran Islam dalam sejarah Indonesia sebagai sebuah bentuk ”nativisasi”.  Sejak usia dini, anak-anak Muslim Indonesia sudah dicekoki dengan ajaran sejarah, bahwa Indonesia pernah jaya di bawah Kerajaan Majapahit. Lalu, datanglah kerajaan Islam, bernama Kerajaan Demak, menghancurkan kejayaan Hindu tersebut. Jadi, seolah-olah hendak ditanamkan pada para siswa, bahwa kedatangan Islam tidak membangun kejayaan Indonesia, tetapi justru menghancurkan kejayaannya. Islam tidak pernah menjadi pemersatu bangsa. Majapahitlah yang menyatukan Indonesia. Padahal, tidak ada bukti sejarah yang kuat, Majapahit pernah menyatukan seluruh wilayah Nusantara.
Prof. Dr. C.C. Berg melalui tulisan-tulisannya telah mengungkapkan, bahwa wilayah Majapahit hanya meliputi wilayah Jawa Timur, Bali, dan Madura. Masuknya wilayah-wilayah lain di Nusantara, hanya merupakan cita-cita, dan tidak pernah masuk ke dalam wilayah Majapahit. (Lihat, Hasan Djafar, Masa Akhir Majapahit (Depok: Komunitas Bambu, 2009).
Ada juga cerita yang memposisikan Majapahit sebagai “penjajah”, sehingga muncul perlawanan dari wilayah yang ditaklukkan. Babad Soengenep, misalnya, menceritakan bagaimana proses penaklukan Majapahit atas Soengenep yang berdarah-darah dan bangkitnya pahlawan setempat yang bernama Jaran Panole dalam melawan agresi militer Majapahit yang dipimpin oleh Gajah Mada. Juga cerita yang mendasari Perang Bubat yang merupakan kesalahan besar dalam diplomasi Majapahit. Dimana terjadi kesepakatan antara Maharaja Pajajaran untuk menikahkan putrinya dengan sang Prabu Hayamwuruk. Sang Maharaja Pajajaran kemudian mengantarkan putrinya hingga ke sebuah gelanggang yang bernama Bubat. Sesuai kebiasaan kuno, raja Sunda tersebut hendak menantikan kedatangan sang menantu untuk menjemput mempelainya.
Padahal, sejarah membuktikan, para ulama dan pendakwah Islam-lah yang menyatukan wilayah Nusantara dalam satu agama, satu bahasa, dan satu pandangan alam (worldview). Bahkan, penyatuan itu sampai meliputi wilayah Thailan Selatan, Filipina Selatan, dan Malaka. Bahasa Melayu yang telah di-Islamkan menjadi alat pemersatu bangsa yang efektif.
Keberadaan dan penyebaran bahasa Melayu pernah dianggap sebagai ancaman bagi misi Kristen oleh tokoh Jesuit, Frans van Lith (m. 1926).   Dalam bukunya, Orang-Orang Katolik di Indonesia, Karel A. Steenbrink, mengutip ucapan van Lith:  “Melayu tidak pernah bisa menjadi bahasa dasar untuk budaya Jawa di sekolah-sekolah, tetapi hanya berfungsi sebagai parasit. Bahasa Jawa harus menjadi bahasa pertama di Tanah Jawa dan dengan sendirinya ia akan menjadi bahasa pertama di Nusantara.”
Kiprah Pater van Lith dalam gerakan misi di Jawa digambarkan oleh Fl. Hasto Rosariyanto, SJ dalam bukunya, Van Lith, Pembuka Pendidikan Guru di Jawa, Sejarah 150 th Serikat Jesus di Indonesia (2009). Dalam buku ini diceritakan, bahwa dalam suatu Kongres bahasa Jawa, secara provokatif van Lith memperingatkan orang-orang Jawa untuk berbangga akan budaya mereka dan karena itu mereka harus menghapus bahasa Melayu dari sekolah. Van Lith lebih suka mempromosikan bahasa Belanda, karena dianggapnya sebagai bahasa kemajuan.
Misi ini kemudian gagal. Pada 28 Oktober 1928, para pemuda Indonesia mengikrarkan sumpah: Berbahasa satu, bahasa Indonesia. (***)

Sumber:
http://www.insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=152:siapa-menyatukan-nusantara&catid=21:sejarah&Itemid=19 

Kesultanan Demak Pasca Keruntuhan Majapahit

Kesultanan Demak Pasca Keruntuhan Majapahit

 Oleh: Susiyanto (Peneliti Pusat Studi Peradaban Islam, Solo)

 Dalam berbagai catatan mengenai keruntuhan Majapahit secara tertulis tidak ada sumber tertulis yang dapat memberikan jawaban tepat tentang waktunya. Babad Tanah Jawi menyebutkan Kerajaan Majapahit runtuh karena serangan Kerajaan Islam Demak pada 1478 Masehi atau 1400 saka.[1] Dalam bahasa Jawa Kuno tahun 1400 tersebut biasa diperlambangkan dengan candra sengkala[2] berbunyi “sirna ilang kertaning bumi” yang dapat diterjemahkan sebagai musnahnya kemakmuran dan keberadaan sebuah negeri.[3]
 Sementara itu, prasasti-prasasti dan berita-berita asing memberi rambu-rambu runtuhnya Kerajaan Majapahit terjadi pada awal abad XVI Masehi. Serat Kanda dan Serat Darmogandul hanya memberitakan samar-samar tentang penaklukan Majapahit oleh Demak. Pada tahun 1478 Masehi, Bhre Kertabhumi gugur di Keraton Majapahit karena serangan dari Dyah Ranawijaya, anak Bhre Pandan Alas. Tahun itulah yang dijadikan pertanda hilangnya Majapahit, sirna ilang kertaning bumi.[4]
Versi lain menyebutkan bahwa pada tahun 1478 ini Dyah Kusuma Wardhani dan suaminya, Wikramawardhana, mengundurkan diri dari tahta Majapahit. Kemudian mereka digantikan oleh Suhita. Pada tahun 1479, Wirabumi, anak dari Hayam Wuruk, berusaha untuk menggulingkan kekuasaan sehingga pecah Perang Paregreg (1479-1484). Pemberontakan Wirabumi dapat dipadamkan namun karena hal itulah Majapahit menjadi lemah dan daerah-daerah kekuasaannya berusaha untuk memisahkan diri. Dengan demikian penyebab utama kemunduran Majapahit tersebut ditengarai disebabkan berbagai pemberontakan pasca pemerintahan Hayam Wuruk, melemahnya perekonomian, dan pengganti yang kurang cakap serta wibawa politik yang memudar.[5]
Pada saat kerajaan Majapahit mengalami masa surut, secara praktis wilayah-wilayah kekuasaannya mulai memisahkan diri. Wilayah-wilayah yang terbagi menjadi kadipaten-kadipaten tersebut saling serang, saling mengklaim sebagai pewaris tahta Majapahit. Pada masa itu arus kekuasaan mengerucut pada dua adipati, yaitu Raden Patah dan Ki Ageng Pengging.[6] Sementara Raden Patah mendapat dukungan dari Walisongo, Ki Ageng Pengging mendapat dukungan dari Syech Siti Jenar.[7] Sehingga dengan demikian keruntuhan Majapahit pada masa itu dapat dikatakan tinggal menunggu waktu sebab sistem dan pondasi kerajaan telah mengalami pengeroposan dari dalam.
Kesultanan Demak adalah kesultanan Islam pertama di Jawa yang didirikan oleh Raden Patah pada tahun 1478.[8] Demak pada masa sebelumnya merupakan suatu daerah yang dikenal dengan nama Bintoro atau Gelagah Wangi yang merupakan daerah kadipaten di bawah kekuasaan Majapahit.[9] Kesultanan Demak secara geografis terletak di Jawa Tengah dengan pusat pemerintahannya di daerah Bintoro di muara sungai Demak, yang dikelilingi oleh daerah rawa yang luas di perairan Laut Muria. (sekarang Laut Muria sudah merupakan dataran rendah yang dialiri sungai Lusi). Bintoro sebagai pusat kerajaan Demak terletak antara Bergola dan Jepara, di mana Bergola adalah pelabuhan yang penting pada masa berlangsungnya kerajaan Mataram (Wangsa Syailendra), sedangkan Jepara akhirnya berkembang sebagai pelabuhan yang penting bagi kerajaan Demak. Salah satu peninggalan bersejarah Kesultanan Demak ialah Mesjid Agung Demak, yang diperkirakan didirikan oleh para Walisongo. Lokasi ibukota Kesultanan Demak saat ini telah menjadi kota Demak di Jawa Tengah. Dengan berkembangnya Islam di Demak, maka Demak berkembang sebagai kota dagang dan pusat penyebaran Islam di pulau Jawa.
Raja pertama Kesultanan Demak tersebut dikuasai oleh Raden Patah salah seorang keturunan Raja Brawijaya V (Bhre Kertabumi) yaitu raja Majapahit. Raden Patah adalah menantu Malik Ibrahim, pengajar Islam di Jawa Timur yang juga dikenal dengan nama Raden Rahmat. Malik Ibrahim atau Raden Rahmat menikah dengan salah satu putri Majapahit dan dia kemudian dianugerahi Kadipaten Demak sebagai daerah kekuasaannya. Kemudian salah satu putri dari Malik Ibrahim menikah dengan Raden Patah. Pasca runtuhnya kerajaan Majapahit maka Raden Patah menggantikan kekuasaan ayahnya di Majapahit dan sekaligus mertuaya di Demak.[10] Dengan demikian kekuasaan Raden Patah bukan hanya didasarkan sebagai strategi penyebaran Islam semata atau pun perebutan kekuasaan politik namun berdasarkan garis keturunan dia memiliki hak atas tahta Majapahit. Akan tetapi dalam versi lain, nama Malik Ibrahim juga dikenal sebagai nama asli Sunan Gresik yang telah wafat pada tahun 1419 dan tidak ditemukan catatan yang menyebutkan secara jelas bahwa dia pernah menjadi penguasa Demak.[11]
Selain itu nama Raden Rahmat juga merupakan nama lain dari Sunan Ampel.[12] Dengan demikian tidak jelas apakah Malik Ibrahim yang menjadi mertua Raden Patah yang dimaksud di atas adalah sosok yang sama dengan Malik Ibrahim yang kemudian dikenal sebagai Sunan Gresik, salah satu sesepuh Walisongo. Maulana Malik Ibrahim[13] yang terakhir ini juga dikenal sebagai “arsitek” berdirinya kerajaan Demak.
Kesultanan Demak mengalami kemunduran karena terjadi perebutan kekuasaan antar kerabat kerajaan. Pada tahun 1568, kekuasaan Kesultanan Demak beralih ke Kesultanan Pajang yang didirikan oleh Jaka Tingkir.


[1] Lihat Http://64.203.71.11/kompas-cetak/0305/23/teropong/326029.htm diakses pada tanggal 6 Maret 2008
[2] Candra sengkala adalah catatan angka tahun yang diwujudkan dan disimbolkan dengan sebuah kalimat. Dalam pengetahuan tentang candra sengkala, setiap kata dalam bahasa jawa memiliki makna yang dapat disimbolkan dengan watak angka. Misalnya watak angka satu diwakili oleh bumi, srengenge, rembulan, lintang, gusti, kawula, Allah, wutuh, bunder, wangun, nyata, wani, urip, dan anggota badan yang berjumlah satu seperti kepala, hati, ekor dan lain-lain. Watak angka dua diwakili oleh benda yang memiliki pasangan seperti penganten, kembar, mripat, kuping, tangan, swiwi, suku, sungut, bahu, pipi, alis. Juga diwakili oleh kata kerja (kriya) dari kata berwatak dua seperti miring, nembah, ndulu, mabur, mlampah. Watak angka tiga antara lain geni, urub, jurit, tandang, guna, putrid, estri, cacing. Watak angka empat antara lain banyu, segara, bening, suci, warna, keblat, jaman, penggawe, karya, kerta. Watak angka lima antara lain angin, gegaman, piranti, srana, tata, marga, dalan, pandhawa, buta, galak, bisikan, turu, alas. Watak angka enam antara lain rasa, pait, sekeca, manis, obah, oyag, retu, susah, cegah, uwit, mangsa, wayang, tawon, kombang. Watak angka tujuh antara lain pandhita, gunung, ardi, kapal, jaran, tunggang, ageng, swara, tembung, wulang, suka, bungah. Watak angka delapan antara lain gajah, esthi, naga, sawer, baya, slira, cecak, taksaka. Watak angka Sembilan antara lain bolongan, lawang, gapura, gua, terus, dewa, sanga, manjing, seneng, nrima, rai, ganda. Watak angka sepuluh atau nol antara lain suwung, kothong, sirna, ilang, pati, rusak, lunga, tanpa, langit, mumbul, muluk, dhuwur, antara, adoh. (Lihat. Mugiyana,. et. all. Mardi Basa lan Sastra. Jilid III. (Tiga Serangkai, Surakarta, 1987). Hal. 30-31)
[3] Lihat http://ervanhardoko.multiply.com/journal/item/18/Sirna_Ilang_Kertaning_Bumi.htm diakses pada tanggal 6 Maret 2008. Lihat pula Dr. M. Abdul Karim, Double M.A. Islam Nusantara. (Pustaka Book Publisher, Yogyakarta, 2007). Hal. 40-41.
[4] Http://64.203.71.11/kompas-cetak/0305/23/teropong/326029.htm diakses pada tanggal 6 Maret 2008
[5] H. Soekama Karya., et all. Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam. (Logos, Jakarta, 1996). Hal. 364
[6] Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Demak akses pada tanggal 10 maret 2008
[7] Syekh Siti Jenar merupakan tokoh kontrovesial yang eksistensinya sebagai sosok historis masih dipertanyakan. Nmaun demikian sejumlah pendapat menyatakan bahwa dia bertanggung jawab atas penyebaran ajaran syi’ah dan sekaligus paham wihdatul wujud di Pulau Jawa. Menurut salah satu sumber dia memiliki nama asli Syeh Jabaranta dan pernah tinggal lama di Persia. (Lihat MB. Rahimsyah. Legenda dan Sejarah Lengkap Wali Songo. (Amanah, Surabaya). Hal. 139).
[8] Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Demak. Sumber lain menyatakan bahwa Demak berdiri setelah kekuasaan Majapahit jatuh pada tahun 1527. (Lihat H. Soekama Karya. Ibid. Hal. 364). Selain itu rujukan lainnya menyatakan bahwa Majapahit runtuh sekitar tahun 1521 dan pada saat itulah Raden Patah menggantikan ayahnya dan bertahta di Demak. (Lihat. R. Soegondo. Ilmu Bumi Militer Indonesia. Jilid II. (Pembimbing, Jakarta, 1954). Hal. 205).
[9]Lihat Http://adeut.blogspot.com/2007/06/sejarah-perkembangan-kerajaan-islam.html.
[10]R. Soegondo. Opcit. Hal. 204-204
[11] Lihat Artikel bertitle “Sejarah Perlawanan Mujahid Nusantara” dalam Sabili Edisi Khusus. Islam : Kawan atau Lawan. (Bina Media Sabili, 2004, Jakarta). Hal. 11
[12] Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Walisongo.htm
[13] Maulana Malik Ibrahim adalah keturunan ke-11 dari Husain bin Ali, juga disebut sebagai Sunan Gresik, atau terkadang Syekh Maghribi dan Makdum Ibrahim As-Samarqandy. Maulana Malik Ibrahim diperkirakan lahir di Samarkand di Asia Tengah, pada paruh awal abad ke-14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarqandy, berubah menjadi Asmarakandi. Sebagian cerita rakyat, ada pula yang menyebutnya dengan panggilan Kakek Bantal. Maulana Malik Ibrahim adalah wali pertama yang membawakan Islam di tanah Jawa. Maulana Malik Ibrahim juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia banyak merangkul rakyat kebanyakan, yaitu golongan yang tersisihkan dalam masyarakat Jawa di akhir kekuasaan Majapahit. Misinya ialah mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Pada tahun 1419, setelah selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur. Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Walisongo.htm

Sumber:

Islam di Nusantara: Historiografi dan Metodologi

Islam di Nusantara: Historiografi dan Metodologi

Oleh: Dr Syamsuddin Arif
"We must question the way they arrive at their theories,
their way of reasoning and analysis, their setting forth
of premises and arrival at conclusions, their raising
of problems and arrival at their solutions, their
understanding of recondite matters of meaning,
their raising of doubtsand ambiguities and
their insistence upon empirical facts”. [1]
–  Syed M. Naquib al-Attas
Beberapa waktu lalu dunia kesarjanaan antarabangsa digemparkan oleh buku berjudul Historical Fact and Fiction karya Tan Sri Profesor Syed Muhammad Naquib al-Attas, seorang ulama filsuf dan pakar terkemuka dalam kajian sejarah, bahasa, dan pemikiran Melayu Islam Nusantara. Dalam karya terbarunya ini beliau mengapresiasi sekaligus mengkritik upaya dan pendekatan para sarjana Orientalis serta kesimpulan-kesimpulan mereka yang cukup mendominasi wacana historiografi Islam di kepulauan Melayu Indonesia.Sebuah upaya dekolonisasi dan revolusi paradigma sejarah, karya inimenyingkap andaian-andaianyang terselip, metodologi yang digunakan, dan menyoal secara rasional sejumlah interpretasi maupun konklusi para Orientalis.Ini termasuk soalpenentuan waktu, asal, dancaramasuknya Islamke Nusantaraserta pengaruhnya terhadap masyarakat setempat.Makalah ini bertujuan memetakan ranah historiografi Islam di Nusantara sekaligus meninjau ulang pelbagaiproposisi dan argumentasi yang telah dilontarkan terutama dari sisi metodologi dan epistemologinya.

1. Penanggalan: Sejak Kapan?
Kita mulai dengan pertanyaan: Bilakah Islam sampai ke Nusantara? Secara garis besar, jawaban para ahli untuk soalan ini terbagi dua. Pendapat pertama mengatakan bahwa Islam tiba di Nusantara pada abad ke-13 Masehi, yakni setelah runtuhnya Dinasti Abbasiyah akibat serbuan tentara Mongol pada tahun 1258 Masehi. Sebagaimana dinyatakan oleh Christiaan Snouck Hurgronje (w.1936), Orientalis sekaligus penasehat kolonial Belanda: “Toen de Mongolenvorst Hoelagoe in 1258 na Chr. Bagdad verwoestte, …was de Islam langzaam aan begonnen, in de eilanden van den Oost-Indischen Archipel door te dringen”.[2]Pendapat klasik ini didasarkan pada catatan yang terdapat pada batunisan kubur Sultan Malik as-Shalih bertahun 696 Hijriah atau1297 Masehi. Dirujuknya pula warta perjalanan Marco Polo yang sempat singgah di Sumatra pada tahun 1292 dan mencatat ramainya rakyat kerajaan Perlaktelah memeluk Islam.[3] Logika Snouck ini sederhana: kalau Islam memang sudah bertapak sebelum abad ke-13 Masehi, kenapa tidak ada bukti tertulis, konkret atau empiris mengenainya? Ketiadaan bukti adalah bukti ketiadaan, bagi Orientalis yang dikenal anti-Islam ini.[4] Namun benarkah tiada bukti terkait?
Di belakang hari telah ditemukan di daerah Leran, Gresik Jawa Timur, sebuah batu nisan seorang yang bernama Fatimah binti Maymun bin Hibatillah dengan huruf Kufi bertahun 495 Hijriah (= 1102 Masehi), menurut hasil bacaan Moquette, atau 475 Hijriah (1082 Masehi), menurut koreksi Ravaisse.[5]Bukti keras ini membolehkan kita menarik sebuah kesimpulan rasional bahwa Islam sudah bertapak sekurang-kurangnya beberapa dasawarsa sebelum itu. Dengan kata lain boleh dikatakan tahun tersebut (475 H/1082 M) sebagai terminus ante quem kedatangan Islam khususnya di pulau Jawa. Ini menjadi pendapat kedua yang juga dipegang olehProfesor al-Attas: “In my estimation the correct time-frame for the initial Islamization of Sumatra should have been during the period between the 9th and 10th centuries or even earlier.” Menurut al-Attas, hal ini secara implisit dinyatakan dalam kitab Hikayat Raja Pasai dan Sejarah Melayu yang diperkuat oleh catatan sejarawan al-Mas‘udi (w. 956 M) dalam Muruj al-Dzahab (1:99 & 167-169) bahwa terdapat sekitar 10000 Muslim Arab Quraysh dari keturunan para Sahabat Nabi yang tinggal di wilayah al-Manshurah, Multan dan Mangir di timur laut India.[6]
Pendapat ketiga -yang boleh kita namakan pandangan “revisionis”- menyatakan Islam telah masuk ke Nusantara seawal abad ke-7 Masehi,yakni sejak zaman Khulafa’ Rasyidin pada kurun pertama Hijriah. Pendapat yang diyakini oleh mayoritas sarjana Muslim ini didukung oleh data-data sejarah yang cukup banyak.[7]Pertama, dari berita Cina zaman Dinasti T’ang (618-907 M) yang menyebut orang-orang Ta-Shih (yakni Arab) mengurungkan niat mereka menyerang kerajaan Ho Ling yang diperintah Ratu Sima (674 M), maka beberapa ahli menyimpulkan bahwa orang-orang Islam dari tanah Arab sudah berada di Nusantara –diperkirakan Sumatra- pada abad pertama Hijriah (abad ke-7 Masehi).[8]
            Salah satu bukti kukuh untuk pendapat ini diungkapkan oleh Ibrahim Buchari, merujuk angka tahun yang terdapat pada batu nisan seorang ulama bernama Syaikh Ruknuddin di Baros, Tapanuli, Sumatera Utara, dimana tertulis tahun 48 Hijriah yakni 670 Masehi.[9]Menarik untuk dikemukakan dalam hal ini kemungkinan “kapur Barus” telah dikenal dan diekspor sampai ke Mesir untuk menghilangkan bau busuk mayat. Beberapa sarjana termasuk almarhum Buya Hamka dan Profesor al-Attas pun percaya bahwa lafaz “kaafuur” yang disebut dalam al-Qur’an (86:5) itu tak lain dan tak bukan adalah kapur dari Baros. Oleh karenanya dapat disimpulkan bahwa tidak mustahil jika Islam sudah mulai merambah ke Nusantara sejak abad pertama Hijriah (= abad ke-7 M).Dan bukan mustahil juga kalau Nabi Muhammad saw sendiri sebagai negarawan yang berpengalaman dan berwawasan luas telah menyuruh beberapa orang agar pergi berdakwah ke Nusantara.[10]
Informasi senada datang dari Syaikh Syamsuddin Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Talib ad-Dimasyqi (w. 1327 M) alias Syaykh ar-Rabwah, penulis kitab Nukhbat ad-Dahr fi ‘Aja’ib al-Barr wa ’l-Bahr, yang menyatakan bahwa Islam telah masuk ke Nusantara melaui Champa (Kamboja dan Vietnam sekarang)sejak zaman Khalifah ‘Utsman, yakni sekitar tahun 30 Hijriah (= abad ke-1) atau 651 Masehi (=abad ke-7).[11]

 2. Penelusuran: Dari mana?
 Demikian pula mengenai asal kedatangannya,pun ada beberapa pendapat. Pendapat pertama mengatakan Islam dibawa masuk ke Nusantara oleh saudagar-saudagar dari Gujarat, sebuah propinsi di bagian selatan India.Seperti dikatakan Snouck Hurgronje, orang-orang Islam yang menyebarkan agamanya di Indonesia tidak datang langsung dari negeri Arab. Mereka adalah orang-orang Islam dari anak benua India: “la religion du prophète arabe a été introduite dans l’Archipel par l’intermédiaire de l’Inde”.[12]Dalilnya adalah unsur-unsur keislaman di Indonesia yang mirip dengan di India. Cerita-cerita rakyat dalam bahasa-bahasa daerah Nusantara mengenai nabi dan para pengikut pertamanya, ujarnya, tidak hanya jauh dari nilai sejarah, tetapi juga jauh dari nilai-nilai Arab, yangcerita asalnya terdapat di India. Dikatakannya pula bahwa kebiasaan Muslim di Indonesia menunjukkan beberapakesamaan dengan kebiasaanpenganut Syi‘ah di pantai Malabar dan Koromandel, padahalorang Indonesiaadalah Ahlus Sunnah yang dalamurusan fikih mengikut mazhab Syafi‘i.[13]
Pendapat ini sebenarnya dikemukakan pertama kalinya oleh D.J. Pijnappel, profesor bahasa Melayu pertama di universitas Leiden.[14] Berdasarkan kisah perjalanan seorang pelaut dengan nama Sulayman bertahun 851 Masehiserta catatan pelayaran Marco Polo dan Ibnu Battutah yang transit di Sumatra pada paruh pertama abad ke-14(1325-1353), maka disimpulkan bahwa kedatangan Islam mestilah melalui jalur perdagangan dari Teluk Persia ke pantai barat India, lalu dari Gujarat dan Malabarmasuk ke Nusantara. Dukungan bagi pendapat ini diberikan oleh Orientalis lainbernama J.P. Moquette. Menurutnya, batu-batunisandi Samudera Pasai yang terbuat dari pualam itu besar kemungkinannyaberasal dari satu pabrik di Cambay-Gujarat.[15]Meskipun lemah dan bermasalah, pendapat ini diterimaluasoleh para penulis sejarah Indonesia, dari mulai R.A. Kern dan Stapel,H. J. Van den Bergh, H. Kroeskamp, Prijohutomo, dan I.P. Simandjoentak sampai dengan Rosihan Anwar.[16]
           Kelemahan pendapat tersebut ditunjukkan antara lain oleh G.E. Morrison. Ada beberapa kejanggalan faktual terkait. Tidak mungkin Islam di Nusantara berasal dari propinsi Gujarat, sebab Marco Polo menceritakan Cambay pada tahun 1293 sebagai kota Hindu, sementara Gujarat baru jatuh ke tangan orang Islam pada tahun 1297.Akan tetapi Morrison menyatakan bahwa orang Islam sudah berabad-abad lamanya berada di selatan India, meski tanpa kekuasaan politik, yakni mereka yang tinggal di Sailan (Ceylon atau Sri Lanka), Malabar dan Koromandel sebelum ekspansi Kesultanan Delhi pada awal abad ke-14. Sebagian mereka mengaku keturunan Muslim Arab asal Irak yang mengungsi ke India demi menghindari kekejaman al-Hajjaj menjelang akhir abad ke-7 Hijriah.Tambahan pula mazhab Syafi‘i tidak dominan di Gujarat dan cerita-cerita rakyat Aceh lebih banyak diwarnai oleh unsur-unsur Tamil ketimbang Hindi.Maka lebih tepat untuk mengatakan, tulisnya, bahwa: “the provenance of Malaysian Islam is in fact Southern India.[17]Kesimpulan Morrison ini mengantarkan kita ke pendapat berikutnya.
          Pendapat kedua yang dipegang oleh S. Qadarullah Fatimi, menyatakan bahwa Islam masuk ke Nusantara dari Benggala.Pendapatnyaini berasaskanlaporan Tomé Pires (1512-1515), berita-berita Cina, serta unsur tasawuf yang terdapatdi Indonesia dan Malaysia. Menurut Fatimi, pendiri kerajaan Islam pertama di Aceh, yaitu Merah Silau, berasal  dari Benggala. Kesimpulan ini diambilnya dari cerita Tomé Pires bahwa raja-raja di Sumatra pada waktu itu sudah beragama Islam. Kerajaan Samudra Pasai sendiri dulunya diperintah oleh penyembah berhala dan baru masuk Islam sekitar 160 tahun silam (berarti sekitar tahun 1352 Masehi), selepas kedatanganpara pedagang Muslim (the merchant Moors) yang memang telah lama menguasai kawasan pesisir laut. Merekalah yang kemudian mengangkat seorang Muslim asal Benggala sebagai raja di Pasai.[18]Petunjuk lainnya adalah kebiasaan orang Nusantara memakai kain “sarung” yang dikatakan sama dengan kebiasaan orang Benggala. Bertolak dari sumber-sumber itu Fatimi lalu menyimpulkan bahwa “Bengal is the main provenance of Sumatran Islam, though it does not at all exclude the possibility of strong influences from other parts of the Islamic world.”[19]
(Baca selengkapnya di Jurnal Islamia, ‘Pembebasan Nusantara: Antara Islamisasi dan Kolonialisasi’, Vol. VII, No. 2, 2012).


[1]S.M. Naquib al-Attas, Historical Fact and Fiction (Kuala Lumpur: UTM Press, 2011), xi.
[2] C.S. Hurgronje, “De Islam in Nederlandsch-Indië,” dalam Verspreide Geschriften (Bonn: Kurt Schroeder, 1923-1927), jilid 4, bag. 2, hlm.361, cf. Islam di Hindia Belanda, terj. S. Gunawan (Jakarta: Bhatara, 1973). Ditegaskannya lagi dalam sebuah ceramah di Amsterdam bahwa: “Niet de godsdienst van Mohammed, maar de tot rijpheid ontwikkelde Islam kan herwaarts zijn overgekommen. … de derde eeuw onstaan (Bukan agama Muhammad yang datang ke Nusantara ini, melainkan Islam yang sudah berkembang matang … tiga abad kemudian)”. Cf. idem, “La propagation de l’Islam, particulièrement dans l’archipel des Indes Orientales,” Revue du Monde Musulman 14 (1911), 381-414.
[3] Lihat Marco Polo, Cathay and the Way thither, terj. H. Yule (London, 1866), jilid 2, hlm. 284; cf. Paul Peliot, Notes on Marco Polo, I (Paris: Maisonneuve, 1959), 86.
[4]  Sebagaimana disinyalir oleh al-Attas: “Moreover, in all their theories the taint of settled aversion towards Islam is always discernible” (Historical Fact and Fiction, hlm. xiii).
[5] Lihat J.P. Moquette, “De oudste Mohammedaansche inscriptie op Java, n.m. de graafsteen te Leran,” dalam Handeligen van het eerste congres voor taal-, land-, en volkenkunde van Java (Weltevreden, 1921), hlm. 391-399; dan Paul Ravaisse, “L’inscription coufique de Léran à Java,” dalam Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en Volkenkunde 65 (1925), hlm. 668-703.
[6]S.M. Naquib al-Attas, Historical Fact and Fiction (Kuala Lumpur: UTM Press, 2011), xi.
[7] Sebagaimana disimpulkan oleh Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia yang diadakan di Medan pada 17-20 Maret 1963/21-24 Syawwal 1382 yang dihadiri oleh KASAB Jenderal A.H. Nasution, Menteri Agama K.H. Saifuddin Zuhri, Menteri Penerangan Prof Dr Roeslan Abdul Gani, Dr H. Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), Dr Tudjimah dan tokoh-tokoh lain. Lihat: Prof A. Hasymy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia (Bandung: al-Ma‘arif, 1993), cet. 3, hlm. 6-8.
[8]Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-kota Muslim di Indonesia dari Abad XIII sampai XVIII Masehi (Kudus: Penerbit Menara Kudus, 2000), hlm. 15-17.
[9] Pendapat ini pertama kali dilontarkan oleh Dada Meuraxa dalam bukunya, Sejarah masuknya Islam ke Bandar Barus, Sumatera Utara(Medan: Sasterawan, 1973), dikutip oleh Wan Hussein Azmi, “Islam di Aceh: Masuk dan Berkembangnya hingga Abad XVI,” dalam A. Hasymy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia (Bandung: al-Ma‘arif, 1993), cet. 3, hlm. 183-184. Cf. A.H. Hill, “The coming of Islam to North Sumatra,” Journal of South-East Asia History 4 (1963), hlm. 6-21.
[10]S.M. N. al-Attas, Historical Fact and Fiction (Kuala Lumpur: UTM Press, 2011), hlm. 2-3.
[11]  Al-Dimashqi, Manuel de la cosmographie du moyen-age (Copenhagen, 1923), dikutip oleh G.R. Tibbetts, A Study of the Arabic Texts containing Materials on South-east Asia (Leiden & London: Brill, 1979), hlm. 63: “The Muslim religion came there in the time of ‘Uthman, and the ‘Alids expelled by the Umaiyads and by al-Hajjaj, took refuge there, having crossed the Sea of Pitch”; cf. P.Y. Manguin, “Etudes cam. II; l’introduction de l’Islam au Campa,” Bulletin de l’Ecole Fran-çaise de’Extrême-Orient 66 (1979), 257; cf. S.M. Naquib al-Attas, Historical Fact and Fiction (Kuala Lumpur: UTM Press, 2011), hlm. 4; dan Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah(Bandung: Salamadani, 2009), hlm.105-106.
[12]C.S. Hurgronje, “L’Arabie et Les Indes Néerlandaises,” Verspreide Geschriften, jilid 4, bag. 2, hlm.106, asalnya naskah pidato berjudul: Arabie en Oost-Indië, dalam rangka pelantikannya sebagai guru besar di Universitas Negeri Leiden pada 23 Januari 1907 dan diterbitkan Revue de l’histoire des religions, tahun ke-29, bag. ke-57 (1908), 60-80. Cf. André Wink, Al-Hind: the Making of the Indo-Islamic World (1991), jilid 1, hlm. 85: “Then, considering that the trade route went via Gujarat and Malabar, Snouck Hurgronje and others concluded a South-Indian origin”.
[13]C.S. Hurgronje, “De Islam in Nederlandsch-Indie,” Verspreide Geschriften, jilid 4, bag. 2, hlm. 364.
[14] D.J. Pijnappel, “Over de kennis, die de Arabieren voor de Komst der Portugeezen van den Indischen archipel bezaten,” BKI 19 (1872), hlm. 135-158.
[15] J.P. Moquette, “De eerste vorsten van Samoedra-Pase (Noord Soematra),” Rapporten van den Oudheidkundigen Dienst in Nederlandsch-Indië(1913), hlm. 1-12;idem, “De Graftsteenen te Pase en Grisse vergeleken met dergelijke monumenten uit Hindoestan,” Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en Volkenkunde (TBG)54 (1912), hlm. 536-53;idem, “Fabriekswerk,” Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (VBG), LVII (1920), 44.
[16]R.A. Kern, “De Verbreiding van den Islam”, dalam Geschiedenis van Nederlandsch-Indië, ed. F.W. Stapel (Amsterdam: Joost van den Vondel, 1938), jilid 1, hlm. 313 = The Propagation of Islam in the Indonesian-Malay Archipelago, ed. Alijah Gordon (Kuala Lumpur: MSRI, 2001), hlm. 30: “So it was in Cambay where lived the co-religionists, to whom one turned for such matters, where the ties of trade with India led, and from where Muslim merchants brought Islam to the Archipelago”; H. J. van den Bergh, H. Kroeskamp, Prijohutomo, dan I.P. Simandjoentak, Asia dan Dunia sedjak 1500: Sedjarah Umum dalam Bentuk Monograph (Jakarta: J.B. Wolters, 1954): “Kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa agama Islam jang masuk ke Indonesia itu sesungguhnja berasal dari Gudjarat”; Abbas Hassan, Sedjarah Tanah Air Kita Indonesia untuk Sekolah Rakjat (Medan: Madju, 1953): “Selain Malaka mendjadi kota dagang, jang mendjadi tempat berhimpunnja para saudagar, djuga disitu saudagar/mubaligh Islam dari Persia dan Gudjarat sangat giat melakukan penjiaran Islam”; Zuber Usman, Kesusas-teraan Lama Indonesia (Jakarta: Gunung Agoeng, 1963), hlm. 15: “Jang membawa agama Islam kesana ialah saudagar2 dari Gudjarat, sebuah tempat disebelah selatan Bombay. Mereka datang berdagang kesini sambil mengembangkan agamanja”; Muhammad Usman el Muhammady (Teungku), Iman dan Islam: Kuliah (Jakarta: Pustaka Agus Salim, 1963): “Islam datang ke Malaya tidak langsung dari pusatnja, tetapi dari Gudjarat, Persia, India dan Hadarmaut. Kedatangannja di Indonesia dan Malaya dengan perantaraan saudagar musafir.Bukan datang special atas initiatip zending jang teratur”; Theodor Müller-Krüger, Sedjarah Geredja di Indonesia (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1966), hlm. 16: “… terutama dari India Barat ialah Gudjarat, merekalah jang menjiarkan agama ini, ketika mereka dapat memasuki istana-istana”; Th. van den End, Ragi Carita 1: Sejarah Gereja di Indonesia th. 1500 – 1860-an (Jakarta: Gunung Mulia, 2007), hlm. 20: “Pada abad ke-13, suatu agama lain lagi mulai memasuki Indonesia melalui jalur perdagangan. Enam ratus tahun sebelumnya Islam telah merebut Arabia, Mesir dan Persia.Pedagang-pedagang di wilayah itu memeluk agama yang baru itu dan membawanya ke pelabuhan-pelabuhan di India Barat, khususnya Cambay, di Gujarat. Islam mulai tersebar di sana sejak abad ke-9, dan berkuasa pada abad ke-13. Dari Gujarat, saudagar-saudagar yang beragama Islam mulai menyebarkan agama itu di Indonesia pula”; Rosihan Anwar, Sejarah Kecil "petite histoire" Indonesia (Jakarta: Kompas, 2009), jilid 2, hlm. 98: “Perdagangan laut yang mewujudkan kejayaan Majapahit akhirnya menghancurkan Majapahit. Sebab, saudagar-saudagar, para pelaut, dan orang-orang ke-ramat dari Gujarat dan Persia membawa ke pelabuhan-pelabuhan di pantai Laut Jawa sebuah agama baru yang bersifat egaliter, yakni Islam.”
[17]G.E. Marrison, “The Coming of Islam to East Indies,” JMBRAS 24/1 (1951), hlm. 31-7.
[18]The Suma Oriental of Tomé Pires: an account of the East, from the Red Sea to China, written in Malacca and India in 1512-1515; and, The book of Francisco Rodrigues: Pilot-Major of the armada that discovered Banda and the Moluccas: rutter of a voyage in the red sea, nautical rules, almanack, and maps, written and drawn in the east before 1515, edited by Armando Cortesao, 2 jilid (New Delhi: Asian Educational Services, 1990): “In the island of Sumatra (Çomotora) most of the kings are Moors and some are heathens” (hlm. 137) selanjutnya: “Pase used to have heathen kings, and it must be a hundred and sixty years now since the said kings were worn out by the cunning of the merchant Moors there were in the kingdom of Pase, and the said Moors held the sea coast and they made a Moorish king of the Bengali caste, from that time until now the kings of Pase have always been Moors; except that up till now they have been unable to convert the people of the interior ; yet in these kingdoms there are in the island of Sumatra, those on the sea coast are all Moors on the side of the Malacca Channel, and those who are not yet Moors are being made so every day, and no heathen among them is held in any esteem unless he is a merchant” (hlm.143).