Sumatra telah dikenal Sejak Zaman Rasulullah
Syed Muhammad al Naquib al Attas |
Syed
Muhammad al Naquib al Attas lahir di Bogor, 5 September 1931 adalah
seorang cendekiawan dan filsuf muslim saat ini dari Malaysia. Ia
menguasai teologi, filsafat, metafisika, sejarah, dan literatur. Ia juga
menulis berbagai buku di bidang pemikiran dan peradaban Islam,
khususnya tentang sufisme, kosmologi, filsafat, dan literatur Malaysia.
Kesimpulan Al-Attas ini berdasarkan inductive methode of reasoning.
Metode ini, ungkap al-Attas, bisa digunakan para pengkaji sejarah ketika
sumber-sumber sejarah yang tersedia dalam jumlah yang sedikit atau
sulit ditemukan, lebih khusus lagi sumber-sumber sejarah Islam dan
penyebaran Islam di Nusantara memang kurang.
Ada dua fakta yang al-Attas gunakan untuk sampai pada kesimpulan di atas.
Pertama, bukti sejarah Hikayat Raja-Raja Pasai yang di dalamnya
terdapat sebuah hadits yang menyebutkan Rasulullah saw menyuruh para
sahabat untuk berdakwah di suatu tempat bernama Samudra, yang akan
terjadi tidak lama lagi di kemudian hari. Hikayat Raja-raja Pasai antara
lain menyebutkan sebagai berikut:
“…Pada zaman Nabi Muhammad Rasul Allah salla’llahu ‘alaihi wassalama tatkala lagi hajat hadhrat yang maha mulia itu, maka sabda ia pada sahabat baginda di Mekkah, demikian sabda baginda Nabi:
“Bahwa sepeninggalku ada sebuah negeri di atas angin samudera namanya. Apabila ada didengar khabar negeri itu maka kami suruh engkau (sediakan) sebuah kapal membawa perkakas dan kamu bawa orang dalam negeri (itu) masuk Islam serta mengucapkan dua kalimah syahadat. Syahdan, (lagi) akan dijadikan Allah Subhanahu wa ta’ala dalam negeri itu terbanyak daripada segala Wali Allah jadi dalam negeri itu”
Dasarnya tentu sangat kuat baik secara teologis maupun secara
antropologis. Hamzah Fansuri, Nurruddin Ar-Raniry, Syamsuddin
As-Sumatrani, Syech Abdurrauf As-singkili yang terkenal dengan nama
Syeikh di Kuala atau Syiah Kuala adalah sekian diantara ulama besar Aceh
yang pernah ada di zaman keemasan kesultanan Pasai dan Kerajaan Aceh
Darussalam. Bahkan, sekian diantara Wali Songo memiliki garis hubungan
pendidikan atau lulusan (alumni) yang berguru di Samudera Pasai sebagai
pusat peradaban Islam Asia tenggara kala itu. Bahkan beberapa
diantaranya ada yang memiliki hubungan keturunan dengan Aceh penyebar
Islam di Tanah Jawa.
Kedua, berupa terma “kāfūr” yang terdapat di dalam Al-Qur’an.
Kata ini berasal dari kata dasar “kafara” yang berarti menutupi. Kata
“kāfūr” juga merupakan nama yang digunakan bangsa Arab untuk menyebut
sebuah produk alam yang dalam Bahasa Inggris disebut camphor, atau dalam
Bahasa Melayu disebut dengan kapur barus.
Masyarakat
Arab menyebutnya dengan nama tersebut karena bahan produk tersebut
tertutup dan tersembunyi di dalam batang pohon kapur barus/pohon karas
(cinnamomum camphora) dan juga karena “menutupi” bau jenazah sebelum
dikubur. Produk kapur barus yang terbaik adalah dari Fansur (Barus)
sebuah kecamatan di Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, yang
terletak di pantai barat Sumatra.
Dengan demikian tidak diragukan wilayah Nusantara lebih khusus lagi Sumatra telah dikenal oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
dari para pedagang dan pelaut yang kembali dengan membawa produk-produk
dari wilayah tersebut (pasai) dan dari laporan tentang apa yang telah
mereka lihat dan dengar tentang tempat-tempat yang telah mereka
singgahi. Perlu di ketahui, bahwa asal-usul penamaan pulau "Sumatera" sendiri berasal dari kata "Samudera" Pasai.
Menurut berita-berita luar yang juga diceritakan dalam Hikayat Raja-raja Pasai kerajaan ini letaknya di kawasan Selat Melaka pada jalur hubungan laut yang ramai antara dunia Arab, India dan Cina. Disebutkan pula bahwa kerajaan ini pada abad ke XIII sudah terkenal sebagai pusat perdagangan di kawasan itu.
Menurut berita-berita luar yang juga diceritakan dalam Hikayat Raja-raja Pasai kerajaan ini letaknya di kawasan Selat Melaka pada jalur hubungan laut yang ramai antara dunia Arab, India dan Cina. Disebutkan pula bahwa kerajaan ini pada abad ke XIII sudah terkenal sebagai pusat perdagangan di kawasan itu.
Kembali menurut Al-Attas, ia menyebutkan, ada empat faktor penyebab
minimnya sumber dan kajian sejarah Islam dan sejarah penyebaran Islam di
Nusantara.
Pertama, sumber dan karya ilmiah sejarah Islam yang ditulis dalam huruf Jawi/Pego (Arab latin) oleh masyarakat Nusantara tidak begitu terkenal di kalangan ilmuwan Barat karena tidak banyak dari mereka yang pandai membaca tulisan Jawi.
Kedua, banyak sumber sejarah yang hilang atau tidak diketahui keberadaannya pada zaman penjajahan.
Ketiga, biasanya sumber-sumber sejarah yang ditulis masyarakat Nusantara dianggap oleh orientalis sebagai artifak sastra, sebagai karya dongeng atau legenda, yang hanya bisa dipelajari dari sudut filologi atau linguistik, dan tidak bisa diterima sebagai sumber sejarah yang sempurna dan benar.
Keempat, karena minimnya sumber dan kajian sejarah Islam Nusantara membuat para ilmuwan Barat hanya menggunakan sumber, kajian dan tulisan dari luar Nusantara termasuk dari Barat. Mereka tidak memperhatikan atau mungkin tidak tahu adanya bahan-bahan dan informasi yang terdapat dalam berbagai sumber sejarah Islam termasuk sumber-sumber sejarah dari wilayah Nusantara.
Prof. Dr. Abdul Rahman Tang, dosen pasca sarjana di Departemen Sejarah
dan Peradaban, Kulliyyah of Islamic Revealed Knowledge and Human
Sciences di International Islamic University Malaysia, selaku pembanding
menyatakan kajian sejarah Islam Nusantara yang dilakukan al-Attas dalam
buku tersebut sebagian besar bersifat spekulatif.
Salah satu fakta spekulatif tersebut adalah hadits yang terdapat dalam Hikayat Raja Raja Pasai. Menurutnya, fakta-fakta tersebut bisa valid jika telah menjalani proses “verification of fact”. Namun Al-Attas tidak melakukan proses ini terhadap hadits yang disebutkan di dalam hikayat raja-raja pasai tersebut.
Salah satu fakta spekulatif tersebut adalah hadits yang terdapat dalam Hikayat Raja Raja Pasai. Menurutnya, fakta-fakta tersebut bisa valid jika telah menjalani proses “verification of fact”. Namun Al-Attas tidak melakukan proses ini terhadap hadits yang disebutkan di dalam hikayat raja-raja pasai tersebut.
Hal ini berdasarkan perjalanan pelaut dan pedagangShallallahu 'Alaihi wa Sallam yang pergi ke China. Untuk mencapai negeri China melalui laut tak ada rute lain kecuali melalui dan singgah wilayah Nusantara.
Lebih lanjut Arif mengemukakan berbagai teori dan pendapat tentang
kapan, dari mana, oleh siapa, dan untuk apa penyebaran Islam di
Nusantara beserta bukti-bukti dan fakta-fakta yang digunakan untuk
mendukung pendapat-pendapat tersebut. Arif juga menjelaskan ilmuwan
siapa saja yang memegang dan yang menentang pendapat-pendapat tersebut.
Di akhir makalahnya, Arif mempertanyakan pendapat J.C. Van Leur yang
pertama kali menyatakan bahwa penyebaran Islam di Nusantara dimotivasi
oleh kepentingan ekonomi dan politik para pelakunya.
Van Leur dalam bukunya “Indonesian Trade and Society” berpendapat,
sejalan dengan melemahnya kerajaan-kerajaan Hindu-Budha di Sumatera dan
khususnya di Jawa, para pedagang Muslim beserta muballigh lebih
berkesempatan mendapatkan keuntungan dagang dan politik. Dia juga
menyimpulan adanya hubungan saling menguntungkan antara para pedagang
Muslim dan para penguasa lokal.
Pihak yang satu memberikan bantuan dan dukungan materiil, dan pihak
kedua memberikan kebebasan dan perlindungan kepada pihak pertama.
Menurutnya, dengan adanya konflik antara keluarga bangsawan dengan
penguasa Majapahit serta ambisi sebagian dari mereka untuk berkuasa,
maka islamisasi merupakan alat politik yang ampuh untuk merebut pengaruh
hingga menghimpun kekuataan.
Menurut catatan M. Yunus Jamil, bahwa pejabat-pejabat Kerajaan Islam
Samudera Pasai terdiri dari orang-orang alim dan bijaksana. Adapun
nama-nama dan jabatan-jabatan mereka adalah sebagai berikut:
1. Seri Kaya Saiyid Ghiyasyuddin, sebagai Perdana Menteri.
2. Saiyid Ali bin Ali Al Makaarani, sebagai Syaikhul Islam.
3. Bawa Kayu Ali Hisamuddin Al Malabari, sebagai Menteri Luar Negeri.
Dari catatan-catatan, nama-nama dan lembaga-lembaga seperti tersebut di
atas, Prof. A. Hasjmy berkesimpulan bahwa, sistem pemerintahan dalam
Kerajaan Islam Samudera Pasai sudah teratur baik, dan berpola sama
dengan sistem pemerintahan Daulah Abbasiyah di bawah Sultan Jalaluddin
Daulah (416-435 H).
Nama Samudera dan Pasai sudah populer disebut-sebut baik oleh
sumber-sumber Cina, Arab dan Barat maupun oleh sumber-sumber dalam
negeri seperti Negara Kertagama (karya Mpu Prapanca, 1365) pada abad ke
13 dan ke-14 Masehi. Dan tentang asal usul nama kerajaan ini ada
berbagai pendapat.
Menurut J.L. Moens, kata Pasai berasal dari istilah Parsi yang
diucapkan menurut logat setempat sebagai Pa’Se. Dengan catatan bahwa
sudah semenjak abad ke VII M, saudagar-saudagar bangsa Arab dan Parsi
sudah datang berdagang dan berkediaman di daerah yang kemudian terkenal
sebagai Kerajaan Islam Samudera Pasai .
Mohammad Said, salah seorang wartawan dan cendikiawan Indonesia pengarang buku ACEH SEPANJANG ABAD yang berkecimpung dengan penelitiannya tentang kerajaan ini dan kerajaan Aceh, dalam prasarannya yang berjudul “Mentjari Kepastian Tentang Daerah Mula dan Cara Masuknya Agama Islam ke Indonesia",
berkesimpulan bahwa istilah PO SE yang populer digunakan pada
pertengahan abad ke VIII M seperti terdapat dalam laporan-laporan Cina,
adalah identik atau mirip sekali dengan Pase atau Pasai.
Pendapat ini adalah sesuai dengan apa yang telah dikemukakan oleh Prof.
Gabriel Ferrand dalam karyanya (L’Empire, 1922, hal.52-162), dan
pendapat Prof. Paul Wheatley dalam (The Golden Khersonese, 1961,
hal.216), yang didasarkan pada keterangan para musafir Arab tentang Asia
Tenggara. Kedua sarjana ini menyebutkan bahwa sudah sejak abad ke-7
Masehi, pelabuhan-pelabuhan yang terkenal di Asia Tenggara pada masa
itu, telah ramai dikunjungi oleh para pedagang dan musafir-musafir Arab.
Bahkan pada setiap kota-kota dagang itu telah terdapat
fondachi-fondachi atau permukiman-permukiman dari pedagang-pedagang yang
beragama Islam. (*/Azzans)
Referensi:
- Islamic Studies Forum for Indonesia) Kuala Lumpur, Malaysia
- http://id.wikipedia.org/wiki/Syed_Muhammad_Naquib_al-Attas
- hidayatullah.com, Benarkah Nusantara telah dikenal di jaman Nabi
Sumber:
http://yasirmaster.blogspot.com/2012/10/sumatra-telah-dikenal-sejak-zaman_4804.html
http://yasirmaster.blogspot.com/2012/10/sumatra-telah-dikenal-sejak-zaman_4804.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar