Jika
orang melihat Islam hanya sebagai agama, kesan yang pertama dibenaknya
adalah doktrin, dogma, syariat atau ajaran halal-haram. Dalam persepsi
orang sekuler, dogma akan dibarengi dengan fanatisme, fanatisme berarti
ekslusifisme yang akan membawa kekerasan dan bahkan terorisme. Untuk
orang yang berfikiran seperti ini Islam perlu ditampilkan sebagai agama
dan sekaligus peradaban.
Islam
sebagai peradaban berarti di dalam ajaran Islam terdapat aspek aqidah
atau kepercayaan kepada Tuhan, dan syariah meliputi aspek peribadatan
pada Tuhan dan tata tertib kehidupan sosial yang diatur oleh hukum. Jadi
aqidah dan syariah itu mengandung konsep hubungan antar sesama manusia,
sebagai implikasi dari hubungan dengan Tuhan. Semakin baik hubungan
seseorang dengan Tuhan semakin baik pula hubungannya dengan manusia.
Jadi
Islam bukan agama yang melulu berisi dogma-dogma dan ritual
peribadatan, tapi agama yang menyentuh seluruh aspek kehidupan manusia.
Maka dari itu ketika Islam diamalkan dalam kehidupan kemasyarakatan ia
akan membentuk sistim-sistim kehidupan, seperti ekonomi, politik,
kebudayaan, sosial dan sebagainya. Itulah din al-Islam yang menjadi tamaddun
Tamaddun
atau peradaban Islam tentu lahir di tengah kebudayaan lain. Ketika
berinteraksi dengan umat, komunitas atau peradaban lain banyak hal yang
mungkin terjadi. Pertama, umat Islam yang datang pada peradaban
lain akan menawarkan ajaran agama Islam. Ketika tawaran diterima ada
aspek kebudayaan itu yang akan tergeser oleh ajaran Islam. Kedua,
dengan masuknya Islam ke sebuah kebudayaan atau bangsa lain tentu
selain menerima Islam mereka akan mempertahankan tradisi, kultur ataupun
kebiasaan mereka masing-masing yang tidak bertentangan dengan Islam. Ketiga,
ketika memasuki kebudayaan atau bangsa lain umat Islam akan
memanfaatkan apa-apa yang telah mereka capai, oleh sebab itu
proses-proses adapsi, asimilasi dan integrasi hal-hal yang berasal dari
peradaban lain tidak dapat dihindarkan.
Ketiga
kemungkinan di atas dapat dikatakan sebagai proses dan hasil
perkembangan peradaban Islam. Prosesnya oleh al-Attas disebut Islamisasi
dan hasilnya adalah peradaban Islam. Islamisasi adalah pembebasan
masyarakat dari tradisi kultural bersifat magis, mitologis, animistis
and etnis yang tidak sesuai dengan Islam. Dan juga pembebasan pikiran
dan bahasa manusia dari kontrol paham sekuler, yang tidak sesuai dengan
fitrahnya. Jadi Islamisasi adalah mengembalikan manusia kepada fitrah
atau naluri aslinya.
Hasil
dari proses itu adalah apa yang dapat disebut sebagai peradaban Islam.
Peradaban Islam adalah “Peradaban yang muncul dari berbagai kultur umat
Islam di dunia, sebagai hasil dari penyerapan mereka terhadap din Islam dan dari sesuatu yang mereka lahirkan dari hasil penyerapan itu. (SMN.Al-Attas, Historical Fact and Fiction,
UTM-CASIS, Kuala Lumpur, 2011, xv). Sudah tentu disini tidak berlaku
inkulturasi atau akulturalisasi dimana Islam menyesuaikan dengan kultur
manapun meskipun itu bertentangan dengan ajaran Islam.
Proses Islamisasi pandangan hidup yang telah terjadi dalam sejarah
peradaban Islam diilustrasikan dengan baik oleh al-Attas melalui
teorinya tentang Islamisasi pandangan hidup bangsa Melayu. Dalam hal ini
al-Attas membagi proses itu menjadi tiga periode. Periode pertama
dimulai sejak abad ke 13 dimana Islam masuk ke dunia Melayu melalui
penerapan syariah. Maka dari itu Fiqih dan pengamalan Islam secara
praktis disaat itu sangat dominan. Konsep Tuhan dalam Islam belum banyak
ditekankan sehingga masih kabur, difahami secara samar-samar dan bahkan
bertumpang tindih dengan pandagan hidup kuno Hindu-Buddha. Periode kedua, dimulai sejak abad ke 15 hingga akhir abad ke 18. Pada periode ini tasawwuf dan kalam cukup dominan, sehingga konsep fundamental tentang Keesaan Tuhan dijelaskan.
Disini pandangan hidup Islam jelas mempengaruhi pandangan hidup bangsa
Melayu dengan masuknya istilah dan konsep-konsep Arab kedalam
istilah-istilah bahasa Melayu. Periode ketiga proses Islamisasi adalah kelanjutan dari fase kedua. Sebagai hasil dari proses Islamisasi tersebut al-Attas menyimpulkan:
Melalui
tasawwuflah masuknya semangat intelektual dan rasional yang tinggi ke
dalam pikiran masyarakat waktu itu, ia membangkitkan semangat
intelektualisme dan rasionalisme yang tidak wujud pada era pra-Islam…
yang merevolusi pandangan hidup bangsa Melayu-Indonesia, mengubahnya
dari suatu dunia mitologi yang rapuh.. kepada dunia intelektualisme, dunia
akal dan dunia yang teratur; ….dan akhirnya semangat itu mempersiapkan
bangsa Melayu-Indonesia, dalam beberapa hal, untuk dunia modern yang
akan datang. (Al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansuri. Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1970, hal. 191-192).
Bagaimana
konsep dari masa pra-Islam itu berubah oleh karena konsep-konsep dalam
pandangan hidup Islam, dicontohkan dengan jelas oleh al-Attas dalam kata “ada” dan “wujud”. Kata-kata “ada” (yang berarti menjadi, meng-ada atau sesuatu yang ada) pada masa Pra-Islam telah dipakai dengan prefix ber atau digunakan secara sinonim dengan kata-kata isi. Ia menunjuk suatu kategori wujud atau
Being yang terbatas yang sebenarnya bersifat material, kebendaan atau
fisik yang meruang dan me-waktu. Namun dengan datangnya Islam, khususnya
melalui tasawuf dan kalam, konsep ada itu berubah secara
mendalam dan radikal, yang merefleksikan suatu pandangan hidup
metafisika Islam yang baru yang dikaitkan dengan konsep al-mawjud, yaitu yang mengejawantah secara zahir tapi juga yang tersembunyi secara batin.( Al-Attas, The Mysticism, hal. 163–169). Demikian pula kata-kata bahasa Arab wujud, yang menunjukkan makna suatu konsep yang abstrak yang sekaligus juga suatu realitas Being atau sesuatu yang ada (being), tidak pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu karena tidak adanya kata-kata yang sesuai.
Selain
kedua istilah di atas masih terdapat beberapa istilah dan konsep-konsep
kunci yang berasal dari bahasa Arab yang kemudian terserap dalam bahasa
Melayu dari sejak abad ke 15 hingga sekarang. Konsep-konsep itu
diantaranya adalah roh (ruh), akal (‘aql), kalbu (qalb), nafsu (nafs), faham (fahm), jasad (jasad), jisim (jism), jasmani (jusmani), jauhar (jawhar), juz (juz’), kuliah (kulliyah), ilham (ilham), sedar (dari bahasa Arab sadr = dada), fikir (fikr), zikir (dhikr), ilmu (‘ilm), yakin (yaqin), shak (shakk), zann (zann), jahil (jahl), alam (alam), pengalaman (dari bahasa Arab: ‘alam), sebab (sabab), musabab (musabbab), akibat (aqibah), hikmah (hikmah), adab (adab), martabat (maratib), derajat (darajat), maudu’ (maudu’), adil (adl), zalim (zulm), ma’rifat (ma’rifah), ta’rif (ta’rif), hakekat (haqiqah), kertas (qirtas), sharah (sharh), bahas (bahth), hukum, hakim, mahkamah (dari Arab: hukm), murid (murid), tarekh (tarikh), zaman (zaman), awal (awwal), akhir (akhir), sejarah (shajarah), abad (‘abad), waktu (waqt), saat (sa’ah), kursi (kursiy),
dan banyak lagi lainnya. Penggunaan istilah dan konsep-konsep kunci
tersebut telah mengindikasikan adanya perubahan cara pandang bangsa
Melayu terhadap banyak hal dalam kehidupan mereka. Karena cara pandang
bangsa atau masyarakat (Melayu) didominasi oleh konsep atau cara pandang
asing (Islam) maka identitas bangsa dan masyarakat itu akan hilang
digantikan oleh konsep dan cara pandang asing (Islam) yang lebih
dominan. Demikian pulalah yang terjadi jika konsep dan cara pandang yang
dominan adalah Barat.
Penggunaan
istilah dan konsep-konsep kunci tersebut telah mengindikasikan adanya
perubahan cara pandang bangsa Melayu dan digantikan oleh cara pandang
Islam. Teorinya dapat dirumuskan begini jika suatu bangsa atau
masyarakat didominasi oleh konsep atau cara pandang asing maka identitas
bangsa dan masyarakat itu akan hilang digantikan atau didominasi oleh
konsep dan cara pandang asing.
Pembahasan
singkat tentang Islamisasi di atas sekedar menunjukkan suatu proses
yang tak terlihat dalam tulisan sejarah Melayu, khususnya jika kajiannya
terpusat pada aspek politik. Dengan kata lain proses Islamisasi melalui
jalur politik dan kekuasaan sejatinya didahului oleh atau disertai
dengan Islamisasi pandangan hidup dan konsep-konsep, dan pada tingkat
tinggi Islamisasi sistim-sistim.
Dalam
edisi ini kajian difokuskan pada kronologi masuknya Islam melalui para
saudagar. Sebab Islam datang ke Nusantara tidak dengan sebuah serbuan
bala tentara perkasa dengan pedang terhunus. Islam datang melalui
perdagangan alias dibawa oleh para saudagar. Sebab Nusantara memang
kawasan lalu lintas perdagangan dunia. Para pedagang, pelaut, atau
musafir dari berbagai belahan dunia seperti China, Arab, India, Asia
Tenggara, Persia, sudah biasa berlalu lalang dikawasan ini. Namun, dari
para saudagar itu Islam dibawa masuk ke dalam jantung kekuasaan
raja-raja sehingga proses politik menjadi konsekuensi yang tak
terelakkan.
Sorotan
kajiannya diarahkan pada proses awal masuknya Islam ke Nusantara secara
umum, kemudian dilanjutkan dengan kajian tentang pembebasan kawasan
Sunda, Jawa dan Sulawesi. Kajian yang belum dilakukan adalah masuknya Islam kedalam kawasan Sumatera dan kawasan lain di Indonesia.
Kajian
tentang kapan Islam pertama kali masuk ke Nusantara merupakan wacana
yang menarik para sejarawan Melayu. Pendapat yang lebih dapat dipercaya
adalah bahwa Islam telah masuk ke Nusantara seawal abad ke-7 Masehi,
yakni zaman Khulafa’ Rasyidin. Faktanya dari Cina bahwa zaman Dinasti
T’ang (618-907 M) yang menyebut orang-orang Ta-Shih (yakni
Arab) mengurungkan niat mereka menyerang kerajaan Ho Ling yang
diperintah Ratu Sima (674 M). Fakta lain merujuk kepada angka tahun yang
terdapat pada batu nisan seorang ulama bernama Syaikh Ruknuddin di
Baros, Tapanuli, Sumatera Utara, dimana tertulis tahun 48 Hijriah yakni
670 Masehi. Informasi lain menunjukkan bahwa Islam telah masuk ke
Nusantara melalui Champa (Kamboja dan Vietnam sekarang) sejak zaman
Khalifah ‘Utsman, yakni sekitar tahun 30 Hijriyah atau 651 Masehi.
Selain
sejarah masuknya Islam ke Nusantara asal muasal Islam yang datang ke
Nusantara juga menjadi kajian penting di sini. Ada sedikitnya enam
kemungkinan dari mana Islam datang. Ada yang mengatakan dari Gujarat,
ada pula yang meyakini dari Benggala, jazirah Arab, Persia dan terakhir
dari Cina. Dan yang tidak kalah penting adalah siapa yang membawanya
apakah para saudagar, para ulama yang berdagang atau siapa. Sebab dengan
itu akan diketahui corak Islam yang seperti apa yang pertama kali masuk
ke negeri ini. Di tengah kontroversi itu al-Attas membuktikan bahwa
Islam dibawa oleh Syaikh Isma‘il yang atas perintah Gubernur (Syarif)
Mekkah pada sekitar abad ke-9 Masehi. Lebih lanjut tentang kajian
bagaimana model da’wah di Nusantara dan apa kekuatan Islam sehingga
dapat masuk ke dalam kehidupan bangsa Melayu di Nusantara lihat Dr Syamsuddin Arif, Islam di Nusantara: Historiografi dan Metodologi.
Khusus
untuk kawasan Sunda, Islam masuk melalui para pedagang yang
diperkirakan pada abad ke-7 M hingga abad ke-11 M. Pada masa itulah
kemungkinan bertemunya masyarakat Nusantara dengan para pedagang Muslim
dari negara-negara Islam. Tempat-empat persinggahan para pedagang di
Tatar Sunda meliputi Banten, Jakarta dan Cirebon. Di Cirebon dipelopori
oleh Sunan Gunung Jati, namun lebih awal dari itu pemeluk Islam pertama
adalah Bratalegawa. Bratalegawa adalah putra kedua Prabu Guru
Pangandiparamarta Jayadewabrata atau Sang Bunisora, penguasa Kerajaan
Galuh yang mendapat julukan Haji Baharudin atau disebut juga sebagai
Haji Purwa. Bukti lain masuknya Islam ke kawasan Sunda adalah munculnya
komunitas Muslim di kawasan pesisir utara Jawa Barat seperti Cirebon,
Karawang, dan sekitarnya. Pertanda adanya komunitas Muslim pada abad 11 M
bisa dilihat dari dikenalnya nama orang yang disegani dan ditokohkan
masyarakat. Nama-nama seperti Syeikh Qura, Kean Santang dan lain lain
sudah merupakan pertanda masuknya Islam ke kawasan ini hingga abad ke
13.
Komunitas
tersebut kemudian perlahan-lahan berkembang menjadi kekuasaan. Di
kawasan Sunda (Tatar Sunda) abad-abad 13 hingga 16 merupakan abad
berubahnya komunitas Muslim menjadi kekuatan politik. Di zaman itulah
orang mengenal kerajaan Cirebon dan Banten, sementara pada zaman yang
sama kekuatan kerajaan Sunda perlahan-lahan telah menunjukkan
kemundurannya. Fakta lain yang dapat membuktikan masuknya Islam ke tanah
Sunda adalah masuknya prinsip-prinsip Islam kedalam pandangan hidup
orang Sunda. Berkembang jargon di tengah masyarakat Sunda Sunda teh Islam, Islam teh Sunda
adalah bukti mendarah mendagingnya agama Islam dalam kehidupan mereka.
Kondisi masyarakat Sunda seperti ini dalam teori al-Attas telah
mengalami proses Islamisasi tahap pertama menuju tahap kedua, yaitu
tahap perkenalan syariah. Di sini haji dianggap pelaksanaan syariah yang
tertinggi dan kerena itu yang telah menunaikan ibadah haji mendapat
penghormatan yang tinggi. (Baca : Tiar Anwar Bachtiar, Islamisasi Tatar Sunda, Perspektif Sejarah Dan Kebudayaan).
Sementara
di Jawa Islam masuk kira-kira pada abad ke 8 H (1478M), melalui elit
politik. Kronologinya mirip dengan penyebaran Islam di kawasan Kristen
di sekitar jazirah Arab, yaitu ketika kekuasaan politik lokal
melemahnya. Sebab memang pada abad ini kerajaan-kerajaan Hindu dan Buddha mengalami konflik internal yang berkepanjangan dan akhirnya melemah. Pada tahun 1404-1406 Masehi terjadi Perang Paregreg, yaitu perang antara Majapahit istana barat yang dipimpin Wikramawardhana melawan istana timur yang dipimpin Bhre Wirabhumi.
Adalah
Sultan Agung yang mempelopori Islamisasi penduduk Jawa dengan
pendidikan. Islam disebarkan melalui berbagai sarana di kampung-kampung,
dari pendidikan membaca al-Qur’an, tatacara ibadah dan pengajaran
sederhana tentang rukun Islam dan rukun iman. Karena pemrakarsanya
adalah istana maka guru agama diberi gelar Kyahi Anom atau Kyahi Sepuh. Di tingkat kadipaten pendidikan Islam lebih tinggi lagi dengan mengkaji kitab-kitab karangan para ulama seperti Fiqih,
Tafsir, Hadits, Ilmu Kalam, Tasawuf, Nahwu, Sharaf dan Falaq. Dengan
melalui pendidikan di tingkat kampung hingga tingkat kadipaten Islam
tersebar secara luas dan difahami secara massal serta dipraktekkan dalam
kehidupan masyarakat umum.
(Baca selengkapnya di Jurnal Islamia, ‘Pembebasan Nusantara: Antara Islamisasi dan Kolonialisasi’, Vol. VII, No. 2, 2012).
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar