Jumat, 15 Februari 2013

Islam di Nusantara: Historiografi dan Metodologi

Islam di Nusantara: Historiografi dan Metodologi

Oleh: Dr Syamsuddin Arif
"We must question the way they arrive at their theories,
their way of reasoning and analysis, their setting forth
of premises and arrival at conclusions, their raising
of problems and arrival at their solutions, their
understanding of recondite matters of meaning,
their raising of doubtsand ambiguities and
their insistence upon empirical facts”. [1]
–  Syed M. Naquib al-Attas
Beberapa waktu lalu dunia kesarjanaan antarabangsa digemparkan oleh buku berjudul Historical Fact and Fiction karya Tan Sri Profesor Syed Muhammad Naquib al-Attas, seorang ulama filsuf dan pakar terkemuka dalam kajian sejarah, bahasa, dan pemikiran Melayu Islam Nusantara. Dalam karya terbarunya ini beliau mengapresiasi sekaligus mengkritik upaya dan pendekatan para sarjana Orientalis serta kesimpulan-kesimpulan mereka yang cukup mendominasi wacana historiografi Islam di kepulauan Melayu Indonesia.Sebuah upaya dekolonisasi dan revolusi paradigma sejarah, karya inimenyingkap andaian-andaianyang terselip, metodologi yang digunakan, dan menyoal secara rasional sejumlah interpretasi maupun konklusi para Orientalis.Ini termasuk soalpenentuan waktu, asal, dancaramasuknya Islamke Nusantaraserta pengaruhnya terhadap masyarakat setempat.Makalah ini bertujuan memetakan ranah historiografi Islam di Nusantara sekaligus meninjau ulang pelbagaiproposisi dan argumentasi yang telah dilontarkan terutama dari sisi metodologi dan epistemologinya.

1. Penanggalan: Sejak Kapan?
Kita mulai dengan pertanyaan: Bilakah Islam sampai ke Nusantara? Secara garis besar, jawaban para ahli untuk soalan ini terbagi dua. Pendapat pertama mengatakan bahwa Islam tiba di Nusantara pada abad ke-13 Masehi, yakni setelah runtuhnya Dinasti Abbasiyah akibat serbuan tentara Mongol pada tahun 1258 Masehi. Sebagaimana dinyatakan oleh Christiaan Snouck Hurgronje (w.1936), Orientalis sekaligus penasehat kolonial Belanda: “Toen de Mongolenvorst Hoelagoe in 1258 na Chr. Bagdad verwoestte, …was de Islam langzaam aan begonnen, in de eilanden van den Oost-Indischen Archipel door te dringen”.[2]Pendapat klasik ini didasarkan pada catatan yang terdapat pada batunisan kubur Sultan Malik as-Shalih bertahun 696 Hijriah atau1297 Masehi. Dirujuknya pula warta perjalanan Marco Polo yang sempat singgah di Sumatra pada tahun 1292 dan mencatat ramainya rakyat kerajaan Perlaktelah memeluk Islam.[3] Logika Snouck ini sederhana: kalau Islam memang sudah bertapak sebelum abad ke-13 Masehi, kenapa tidak ada bukti tertulis, konkret atau empiris mengenainya? Ketiadaan bukti adalah bukti ketiadaan, bagi Orientalis yang dikenal anti-Islam ini.[4] Namun benarkah tiada bukti terkait?
Di belakang hari telah ditemukan di daerah Leran, Gresik Jawa Timur, sebuah batu nisan seorang yang bernama Fatimah binti Maymun bin Hibatillah dengan huruf Kufi bertahun 495 Hijriah (= 1102 Masehi), menurut hasil bacaan Moquette, atau 475 Hijriah (1082 Masehi), menurut koreksi Ravaisse.[5]Bukti keras ini membolehkan kita menarik sebuah kesimpulan rasional bahwa Islam sudah bertapak sekurang-kurangnya beberapa dasawarsa sebelum itu. Dengan kata lain boleh dikatakan tahun tersebut (475 H/1082 M) sebagai terminus ante quem kedatangan Islam khususnya di pulau Jawa. Ini menjadi pendapat kedua yang juga dipegang olehProfesor al-Attas: “In my estimation the correct time-frame for the initial Islamization of Sumatra should have been during the period between the 9th and 10th centuries or even earlier.” Menurut al-Attas, hal ini secara implisit dinyatakan dalam kitab Hikayat Raja Pasai dan Sejarah Melayu yang diperkuat oleh catatan sejarawan al-Mas‘udi (w. 956 M) dalam Muruj al-Dzahab (1:99 & 167-169) bahwa terdapat sekitar 10000 Muslim Arab Quraysh dari keturunan para Sahabat Nabi yang tinggal di wilayah al-Manshurah, Multan dan Mangir di timur laut India.[6]
Pendapat ketiga -yang boleh kita namakan pandangan “revisionis”- menyatakan Islam telah masuk ke Nusantara seawal abad ke-7 Masehi,yakni sejak zaman Khulafa’ Rasyidin pada kurun pertama Hijriah. Pendapat yang diyakini oleh mayoritas sarjana Muslim ini didukung oleh data-data sejarah yang cukup banyak.[7]Pertama, dari berita Cina zaman Dinasti T’ang (618-907 M) yang menyebut orang-orang Ta-Shih (yakni Arab) mengurungkan niat mereka menyerang kerajaan Ho Ling yang diperintah Ratu Sima (674 M), maka beberapa ahli menyimpulkan bahwa orang-orang Islam dari tanah Arab sudah berada di Nusantara –diperkirakan Sumatra- pada abad pertama Hijriah (abad ke-7 Masehi).[8]
            Salah satu bukti kukuh untuk pendapat ini diungkapkan oleh Ibrahim Buchari, merujuk angka tahun yang terdapat pada batu nisan seorang ulama bernama Syaikh Ruknuddin di Baros, Tapanuli, Sumatera Utara, dimana tertulis tahun 48 Hijriah yakni 670 Masehi.[9]Menarik untuk dikemukakan dalam hal ini kemungkinan “kapur Barus” telah dikenal dan diekspor sampai ke Mesir untuk menghilangkan bau busuk mayat. Beberapa sarjana termasuk almarhum Buya Hamka dan Profesor al-Attas pun percaya bahwa lafaz “kaafuur” yang disebut dalam al-Qur’an (86:5) itu tak lain dan tak bukan adalah kapur dari Baros. Oleh karenanya dapat disimpulkan bahwa tidak mustahil jika Islam sudah mulai merambah ke Nusantara sejak abad pertama Hijriah (= abad ke-7 M).Dan bukan mustahil juga kalau Nabi Muhammad saw sendiri sebagai negarawan yang berpengalaman dan berwawasan luas telah menyuruh beberapa orang agar pergi berdakwah ke Nusantara.[10]
Informasi senada datang dari Syaikh Syamsuddin Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Talib ad-Dimasyqi (w. 1327 M) alias Syaykh ar-Rabwah, penulis kitab Nukhbat ad-Dahr fi ‘Aja’ib al-Barr wa ’l-Bahr, yang menyatakan bahwa Islam telah masuk ke Nusantara melaui Champa (Kamboja dan Vietnam sekarang)sejak zaman Khalifah ‘Utsman, yakni sekitar tahun 30 Hijriah (= abad ke-1) atau 651 Masehi (=abad ke-7).[11]

 2. Penelusuran: Dari mana?
 Demikian pula mengenai asal kedatangannya,pun ada beberapa pendapat. Pendapat pertama mengatakan Islam dibawa masuk ke Nusantara oleh saudagar-saudagar dari Gujarat, sebuah propinsi di bagian selatan India.Seperti dikatakan Snouck Hurgronje, orang-orang Islam yang menyebarkan agamanya di Indonesia tidak datang langsung dari negeri Arab. Mereka adalah orang-orang Islam dari anak benua India: “la religion du prophète arabe a été introduite dans l’Archipel par l’intermédiaire de l’Inde”.[12]Dalilnya adalah unsur-unsur keislaman di Indonesia yang mirip dengan di India. Cerita-cerita rakyat dalam bahasa-bahasa daerah Nusantara mengenai nabi dan para pengikut pertamanya, ujarnya, tidak hanya jauh dari nilai sejarah, tetapi juga jauh dari nilai-nilai Arab, yangcerita asalnya terdapat di India. Dikatakannya pula bahwa kebiasaan Muslim di Indonesia menunjukkan beberapakesamaan dengan kebiasaanpenganut Syi‘ah di pantai Malabar dan Koromandel, padahalorang Indonesiaadalah Ahlus Sunnah yang dalamurusan fikih mengikut mazhab Syafi‘i.[13]
Pendapat ini sebenarnya dikemukakan pertama kalinya oleh D.J. Pijnappel, profesor bahasa Melayu pertama di universitas Leiden.[14] Berdasarkan kisah perjalanan seorang pelaut dengan nama Sulayman bertahun 851 Masehiserta catatan pelayaran Marco Polo dan Ibnu Battutah yang transit di Sumatra pada paruh pertama abad ke-14(1325-1353), maka disimpulkan bahwa kedatangan Islam mestilah melalui jalur perdagangan dari Teluk Persia ke pantai barat India, lalu dari Gujarat dan Malabarmasuk ke Nusantara. Dukungan bagi pendapat ini diberikan oleh Orientalis lainbernama J.P. Moquette. Menurutnya, batu-batunisandi Samudera Pasai yang terbuat dari pualam itu besar kemungkinannyaberasal dari satu pabrik di Cambay-Gujarat.[15]Meskipun lemah dan bermasalah, pendapat ini diterimaluasoleh para penulis sejarah Indonesia, dari mulai R.A. Kern dan Stapel,H. J. Van den Bergh, H. Kroeskamp, Prijohutomo, dan I.P. Simandjoentak sampai dengan Rosihan Anwar.[16]
           Kelemahan pendapat tersebut ditunjukkan antara lain oleh G.E. Morrison. Ada beberapa kejanggalan faktual terkait. Tidak mungkin Islam di Nusantara berasal dari propinsi Gujarat, sebab Marco Polo menceritakan Cambay pada tahun 1293 sebagai kota Hindu, sementara Gujarat baru jatuh ke tangan orang Islam pada tahun 1297.Akan tetapi Morrison menyatakan bahwa orang Islam sudah berabad-abad lamanya berada di selatan India, meski tanpa kekuasaan politik, yakni mereka yang tinggal di Sailan (Ceylon atau Sri Lanka), Malabar dan Koromandel sebelum ekspansi Kesultanan Delhi pada awal abad ke-14. Sebagian mereka mengaku keturunan Muslim Arab asal Irak yang mengungsi ke India demi menghindari kekejaman al-Hajjaj menjelang akhir abad ke-7 Hijriah.Tambahan pula mazhab Syafi‘i tidak dominan di Gujarat dan cerita-cerita rakyat Aceh lebih banyak diwarnai oleh unsur-unsur Tamil ketimbang Hindi.Maka lebih tepat untuk mengatakan, tulisnya, bahwa: “the provenance of Malaysian Islam is in fact Southern India.[17]Kesimpulan Morrison ini mengantarkan kita ke pendapat berikutnya.
          Pendapat kedua yang dipegang oleh S. Qadarullah Fatimi, menyatakan bahwa Islam masuk ke Nusantara dari Benggala.Pendapatnyaini berasaskanlaporan Tomé Pires (1512-1515), berita-berita Cina, serta unsur tasawuf yang terdapatdi Indonesia dan Malaysia. Menurut Fatimi, pendiri kerajaan Islam pertama di Aceh, yaitu Merah Silau, berasal  dari Benggala. Kesimpulan ini diambilnya dari cerita Tomé Pires bahwa raja-raja di Sumatra pada waktu itu sudah beragama Islam. Kerajaan Samudra Pasai sendiri dulunya diperintah oleh penyembah berhala dan baru masuk Islam sekitar 160 tahun silam (berarti sekitar tahun 1352 Masehi), selepas kedatanganpara pedagang Muslim (the merchant Moors) yang memang telah lama menguasai kawasan pesisir laut. Merekalah yang kemudian mengangkat seorang Muslim asal Benggala sebagai raja di Pasai.[18]Petunjuk lainnya adalah kebiasaan orang Nusantara memakai kain “sarung” yang dikatakan sama dengan kebiasaan orang Benggala. Bertolak dari sumber-sumber itu Fatimi lalu menyimpulkan bahwa “Bengal is the main provenance of Sumatran Islam, though it does not at all exclude the possibility of strong influences from other parts of the Islamic world.”[19]
(Baca selengkapnya di Jurnal Islamia, ‘Pembebasan Nusantara: Antara Islamisasi dan Kolonialisasi’, Vol. VII, No. 2, 2012).


[1]S.M. Naquib al-Attas, Historical Fact and Fiction (Kuala Lumpur: UTM Press, 2011), xi.
[2] C.S. Hurgronje, “De Islam in Nederlandsch-Indië,” dalam Verspreide Geschriften (Bonn: Kurt Schroeder, 1923-1927), jilid 4, bag. 2, hlm.361, cf. Islam di Hindia Belanda, terj. S. Gunawan (Jakarta: Bhatara, 1973). Ditegaskannya lagi dalam sebuah ceramah di Amsterdam bahwa: “Niet de godsdienst van Mohammed, maar de tot rijpheid ontwikkelde Islam kan herwaarts zijn overgekommen. … de derde eeuw onstaan (Bukan agama Muhammad yang datang ke Nusantara ini, melainkan Islam yang sudah berkembang matang … tiga abad kemudian)”. Cf. idem, “La propagation de l’Islam, particulièrement dans l’archipel des Indes Orientales,” Revue du Monde Musulman 14 (1911), 381-414.
[3] Lihat Marco Polo, Cathay and the Way thither, terj. H. Yule (London, 1866), jilid 2, hlm. 284; cf. Paul Peliot, Notes on Marco Polo, I (Paris: Maisonneuve, 1959), 86.
[4]  Sebagaimana disinyalir oleh al-Attas: “Moreover, in all their theories the taint of settled aversion towards Islam is always discernible” (Historical Fact and Fiction, hlm. xiii).
[5] Lihat J.P. Moquette, “De oudste Mohammedaansche inscriptie op Java, n.m. de graafsteen te Leran,” dalam Handeligen van het eerste congres voor taal-, land-, en volkenkunde van Java (Weltevreden, 1921), hlm. 391-399; dan Paul Ravaisse, “L’inscription coufique de Léran à Java,” dalam Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en Volkenkunde 65 (1925), hlm. 668-703.
[6]S.M. Naquib al-Attas, Historical Fact and Fiction (Kuala Lumpur: UTM Press, 2011), xi.
[7] Sebagaimana disimpulkan oleh Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia yang diadakan di Medan pada 17-20 Maret 1963/21-24 Syawwal 1382 yang dihadiri oleh KASAB Jenderal A.H. Nasution, Menteri Agama K.H. Saifuddin Zuhri, Menteri Penerangan Prof Dr Roeslan Abdul Gani, Dr H. Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), Dr Tudjimah dan tokoh-tokoh lain. Lihat: Prof A. Hasymy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia (Bandung: al-Ma‘arif, 1993), cet. 3, hlm. 6-8.
[8]Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-kota Muslim di Indonesia dari Abad XIII sampai XVIII Masehi (Kudus: Penerbit Menara Kudus, 2000), hlm. 15-17.
[9] Pendapat ini pertama kali dilontarkan oleh Dada Meuraxa dalam bukunya, Sejarah masuknya Islam ke Bandar Barus, Sumatera Utara(Medan: Sasterawan, 1973), dikutip oleh Wan Hussein Azmi, “Islam di Aceh: Masuk dan Berkembangnya hingga Abad XVI,” dalam A. Hasymy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia (Bandung: al-Ma‘arif, 1993), cet. 3, hlm. 183-184. Cf. A.H. Hill, “The coming of Islam to North Sumatra,” Journal of South-East Asia History 4 (1963), hlm. 6-21.
[10]S.M. N. al-Attas, Historical Fact and Fiction (Kuala Lumpur: UTM Press, 2011), hlm. 2-3.
[11]  Al-Dimashqi, Manuel de la cosmographie du moyen-age (Copenhagen, 1923), dikutip oleh G.R. Tibbetts, A Study of the Arabic Texts containing Materials on South-east Asia (Leiden & London: Brill, 1979), hlm. 63: “The Muslim religion came there in the time of ‘Uthman, and the ‘Alids expelled by the Umaiyads and by al-Hajjaj, took refuge there, having crossed the Sea of Pitch”; cf. P.Y. Manguin, “Etudes cam. II; l’introduction de l’Islam au Campa,” Bulletin de l’Ecole Fran-çaise de’Extrême-Orient 66 (1979), 257; cf. S.M. Naquib al-Attas, Historical Fact and Fiction (Kuala Lumpur: UTM Press, 2011), hlm. 4; dan Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah(Bandung: Salamadani, 2009), hlm.105-106.
[12]C.S. Hurgronje, “L’Arabie et Les Indes Néerlandaises,” Verspreide Geschriften, jilid 4, bag. 2, hlm.106, asalnya naskah pidato berjudul: Arabie en Oost-Indië, dalam rangka pelantikannya sebagai guru besar di Universitas Negeri Leiden pada 23 Januari 1907 dan diterbitkan Revue de l’histoire des religions, tahun ke-29, bag. ke-57 (1908), 60-80. Cf. André Wink, Al-Hind: the Making of the Indo-Islamic World (1991), jilid 1, hlm. 85: “Then, considering that the trade route went via Gujarat and Malabar, Snouck Hurgronje and others concluded a South-Indian origin”.
[13]C.S. Hurgronje, “De Islam in Nederlandsch-Indie,” Verspreide Geschriften, jilid 4, bag. 2, hlm. 364.
[14] D.J. Pijnappel, “Over de kennis, die de Arabieren voor de Komst der Portugeezen van den Indischen archipel bezaten,” BKI 19 (1872), hlm. 135-158.
[15] J.P. Moquette, “De eerste vorsten van Samoedra-Pase (Noord Soematra),” Rapporten van den Oudheidkundigen Dienst in Nederlandsch-Indië(1913), hlm. 1-12;idem, “De Graftsteenen te Pase en Grisse vergeleken met dergelijke monumenten uit Hindoestan,” Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en Volkenkunde (TBG)54 (1912), hlm. 536-53;idem, “Fabriekswerk,” Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (VBG), LVII (1920), 44.
[16]R.A. Kern, “De Verbreiding van den Islam”, dalam Geschiedenis van Nederlandsch-Indië, ed. F.W. Stapel (Amsterdam: Joost van den Vondel, 1938), jilid 1, hlm. 313 = The Propagation of Islam in the Indonesian-Malay Archipelago, ed. Alijah Gordon (Kuala Lumpur: MSRI, 2001), hlm. 30: “So it was in Cambay where lived the co-religionists, to whom one turned for such matters, where the ties of trade with India led, and from where Muslim merchants brought Islam to the Archipelago”; H. J. van den Bergh, H. Kroeskamp, Prijohutomo, dan I.P. Simandjoentak, Asia dan Dunia sedjak 1500: Sedjarah Umum dalam Bentuk Monograph (Jakarta: J.B. Wolters, 1954): “Kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa agama Islam jang masuk ke Indonesia itu sesungguhnja berasal dari Gudjarat”; Abbas Hassan, Sedjarah Tanah Air Kita Indonesia untuk Sekolah Rakjat (Medan: Madju, 1953): “Selain Malaka mendjadi kota dagang, jang mendjadi tempat berhimpunnja para saudagar, djuga disitu saudagar/mubaligh Islam dari Persia dan Gudjarat sangat giat melakukan penjiaran Islam”; Zuber Usman, Kesusas-teraan Lama Indonesia (Jakarta: Gunung Agoeng, 1963), hlm. 15: “Jang membawa agama Islam kesana ialah saudagar2 dari Gudjarat, sebuah tempat disebelah selatan Bombay. Mereka datang berdagang kesini sambil mengembangkan agamanja”; Muhammad Usman el Muhammady (Teungku), Iman dan Islam: Kuliah (Jakarta: Pustaka Agus Salim, 1963): “Islam datang ke Malaya tidak langsung dari pusatnja, tetapi dari Gudjarat, Persia, India dan Hadarmaut. Kedatangannja di Indonesia dan Malaya dengan perantaraan saudagar musafir.Bukan datang special atas initiatip zending jang teratur”; Theodor Müller-Krüger, Sedjarah Geredja di Indonesia (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1966), hlm. 16: “… terutama dari India Barat ialah Gudjarat, merekalah jang menjiarkan agama ini, ketika mereka dapat memasuki istana-istana”; Th. van den End, Ragi Carita 1: Sejarah Gereja di Indonesia th. 1500 – 1860-an (Jakarta: Gunung Mulia, 2007), hlm. 20: “Pada abad ke-13, suatu agama lain lagi mulai memasuki Indonesia melalui jalur perdagangan. Enam ratus tahun sebelumnya Islam telah merebut Arabia, Mesir dan Persia.Pedagang-pedagang di wilayah itu memeluk agama yang baru itu dan membawanya ke pelabuhan-pelabuhan di India Barat, khususnya Cambay, di Gujarat. Islam mulai tersebar di sana sejak abad ke-9, dan berkuasa pada abad ke-13. Dari Gujarat, saudagar-saudagar yang beragama Islam mulai menyebarkan agama itu di Indonesia pula”; Rosihan Anwar, Sejarah Kecil "petite histoire" Indonesia (Jakarta: Kompas, 2009), jilid 2, hlm. 98: “Perdagangan laut yang mewujudkan kejayaan Majapahit akhirnya menghancurkan Majapahit. Sebab, saudagar-saudagar, para pelaut, dan orang-orang ke-ramat dari Gujarat dan Persia membawa ke pelabuhan-pelabuhan di pantai Laut Jawa sebuah agama baru yang bersifat egaliter, yakni Islam.”
[17]G.E. Marrison, “The Coming of Islam to East Indies,” JMBRAS 24/1 (1951), hlm. 31-7.
[18]The Suma Oriental of Tomé Pires: an account of the East, from the Red Sea to China, written in Malacca and India in 1512-1515; and, The book of Francisco Rodrigues: Pilot-Major of the armada that discovered Banda and the Moluccas: rutter of a voyage in the red sea, nautical rules, almanack, and maps, written and drawn in the east before 1515, edited by Armando Cortesao, 2 jilid (New Delhi: Asian Educational Services, 1990): “In the island of Sumatra (Çomotora) most of the kings are Moors and some are heathens” (hlm. 137) selanjutnya: “Pase used to have heathen kings, and it must be a hundred and sixty years now since the said kings were worn out by the cunning of the merchant Moors there were in the kingdom of Pase, and the said Moors held the sea coast and they made a Moorish king of the Bengali caste, from that time until now the kings of Pase have always been Moors; except that up till now they have been unable to convert the people of the interior ; yet in these kingdoms there are in the island of Sumatra, those on the sea coast are all Moors on the side of the Malacca Channel, and those who are not yet Moors are being made so every day, and no heathen among them is held in any esteem unless he is a merchant” (hlm.143).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar