Islam di Nusantara: Historiografi dan Metodologi
"We must question the way they arrive at their theories,
their way of reasoning and analysis, their setting forth
of premises and arrival at conclusions, their raising
of problems and arrival at their solutions, their
understanding of recondite matters of meaning,
their raising of doubtsand ambiguities and
their insistence upon empirical facts”. [1]
– Syed M. Naquib al-Attas
Beberapa waktu lalu dunia kesarjanaan antarabangsa digemparkan oleh buku berjudul Historical Fact and Fiction
karya Tan Sri Profesor Syed Muhammad Naquib al-Attas, seorang ulama
filsuf dan pakar terkemuka dalam kajian sejarah, bahasa, dan pemikiran
Melayu Islam Nusantara. Dalam karya terbarunya ini beliau mengapresiasi
sekaligus mengkritik upaya dan pendekatan para sarjana Orientalis serta
kesimpulan-kesimpulan mereka yang cukup mendominasi wacana historiografi
Islam di kepulauan Melayu Indonesia.Sebuah upaya dekolonisasi dan revolusi paradigma sejarah, karya inimenyingkap
andaian-andaianyang terselip, metodologi yang digunakan, dan menyoal
secara rasional sejumlah interpretasi maupun konklusi para
Orientalis.Ini termasuk soalpenentuan waktu, asal, dancaramasuknya
Islamke Nusantaraserta pengaruhnya terhadap masyarakat setempat.Makalah
ini bertujuan memetakan ranah historiografi Islam di Nusantara sekaligus
meninjau ulang pelbagaiproposisi dan argumentasi yang telah dilontarkan
terutama dari sisi metodologi dan epistemologinya.
1. Penanggalan: Sejak Kapan?
Kita
mulai dengan pertanyaan: Bilakah Islam sampai ke Nusantara? Secara
garis besar, jawaban para ahli untuk soalan ini terbagi dua. Pendapat pertama
mengatakan bahwa Islam tiba di Nusantara pada abad ke-13 Masehi, yakni
setelah runtuhnya Dinasti Abbasiyah akibat serbuan tentara Mongol pada
tahun 1258 Masehi. Sebagaimana dinyatakan oleh Christiaan Snouck
Hurgronje (w.1936), Orientalis sekaligus penasehat kolonial Belanda: “Toen
de Mongolenvorst Hoelagoe in 1258 na Chr. Bagdad verwoestte, …was de
Islam langzaam aan begonnen, in de eilanden van den Oost-Indischen
Archipel door te dringen”.[2]Pendapat
klasik ini didasarkan pada catatan yang terdapat pada batunisan kubur
Sultan Malik as-Shalih bertahun 696 Hijriah atau1297 Masehi. Dirujuknya
pula warta perjalanan Marco Polo yang sempat singgah di Sumatra pada
tahun 1292 dan mencatat ramainya rakyat kerajaan Perlaktelah memeluk
Islam.[3]
Logika Snouck ini sederhana: kalau Islam memang sudah bertapak sebelum
abad ke-13 Masehi, kenapa tidak ada bukti tertulis, konkret atau empiris
mengenainya? Ketiadaan bukti adalah bukti ketiadaan, bagi Orientalis
yang dikenal anti-Islam ini.[4] Namun benarkah tiada bukti terkait?
Di
belakang hari telah ditemukan di daerah Leran, Gresik Jawa Timur,
sebuah batu nisan seorang yang bernama Fatimah binti Maymun bin
Hibatillah dengan huruf Kufi bertahun 495 Hijriah (= 1102 Masehi),
menurut hasil bacaan Moquette, atau 475 Hijriah (1082 Masehi), menurut
koreksi Ravaisse.[5]Bukti
keras ini membolehkan kita menarik sebuah kesimpulan rasional bahwa
Islam sudah bertapak sekurang-kurangnya beberapa dasawarsa sebelum itu.
Dengan kata lain boleh dikatakan tahun tersebut (475 H/1082 M) sebagai terminus ante quem kedatangan Islam khususnya di pulau Jawa. Ini menjadi pendapat kedua
yang juga dipegang olehProfesor al-Attas: “In my estimation the correct
time-frame for the initial Islamization of Sumatra should have been
during the period between the 9th and 10th centuries or even earlier.” Menurut al-Attas, hal ini secara implisit dinyatakan dalam kitab Hikayat Raja Pasai dan Sejarah Melayu yang diperkuat oleh catatan sejarawan al-Mas‘udi (w. 956 M) dalam Muruj al-Dzahab (1:99
& 167-169) bahwa terdapat sekitar 10000 Muslim Arab Quraysh dari
keturunan para Sahabat Nabi yang tinggal di wilayah al-Manshurah, Multan
dan Mangir di timur laut India.[6]
Pendapat ketiga -yang
boleh kita namakan pandangan “revisionis”- menyatakan Islam telah masuk
ke Nusantara seawal abad ke-7 Masehi,yakni sejak zaman Khulafa’
Rasyidin pada kurun pertama Hijriah. Pendapat yang diyakini oleh
mayoritas sarjana Muslim ini didukung oleh data-data sejarah yang cukup
banyak.[7]Pertama, dari berita Cina zaman Dinasti T’ang (618-907 M) yang menyebut orang-orang Ta-Shih
(yakni Arab) mengurungkan niat mereka menyerang kerajaan Ho Ling yang
diperintah Ratu Sima (674 M), maka beberapa ahli menyimpulkan bahwa
orang-orang Islam dari tanah Arab sudah berada di Nusantara
–diperkirakan Sumatra- pada abad pertama Hijriah (abad ke-7 Masehi).[8]
Salah
satu bukti kukuh untuk pendapat ini diungkapkan oleh Ibrahim Buchari,
merujuk angka tahun yang terdapat pada batu nisan seorang ulama bernama
Syaikh Ruknuddin di Baros, Tapanuli, Sumatera Utara, dimana tertulis
tahun 48 Hijriah yakni 670 Masehi.[9]Menarik
untuk dikemukakan dalam hal ini kemungkinan “kapur Barus” telah dikenal
dan diekspor sampai ke Mesir untuk menghilangkan bau busuk mayat.
Beberapa sarjana termasuk almarhum Buya Hamka dan Profesor al-Attas pun
percaya bahwa lafaz “kaafuur” yang disebut dalam al-Qur’an
(86:5) itu tak lain dan tak bukan adalah kapur dari Baros. Oleh
karenanya dapat disimpulkan bahwa tidak mustahil jika Islam sudah mulai
merambah ke Nusantara sejak abad pertama Hijriah (= abad ke-7 M).Dan
bukan mustahil juga kalau Nabi Muhammad saw sendiri sebagai negarawan
yang berpengalaman dan berwawasan luas telah menyuruh beberapa orang
agar pergi berdakwah ke Nusantara.[10]
Informasi
senada datang dari Syaikh Syamsuddin Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Talib
ad-Dimasyqi (w. 1327 M) alias Syaykh ar-Rabwah, penulis kitab Nukhbat ad-Dahr fi ‘Aja’ib al-Barr wa ’l-Bahr,
yang menyatakan bahwa Islam telah masuk ke Nusantara melaui Champa
(Kamboja dan Vietnam sekarang)sejak zaman Khalifah ‘Utsman, yakni
sekitar tahun 30 Hijriah (= abad ke-1) atau 651 Masehi (=abad ke-7).[11]
2. Penelusuran: Dari mana?
Demikian pula mengenai asal kedatangannya,pun ada beberapa pendapat. Pendapat pertama
mengatakan Islam dibawa masuk ke Nusantara oleh saudagar-saudagar dari
Gujarat, sebuah propinsi di bagian selatan India.Seperti dikatakan
Snouck Hurgronje, orang-orang Islam yang menyebarkan agamanya di
Indonesia tidak datang langsung dari negeri Arab. Mereka adalah
orang-orang Islam dari anak benua India: “la religion du prophète arabe a été introduite dans l’Archipel par l’intermédiaire de l’Inde”.[12]Dalilnya
adalah unsur-unsur keislaman di Indonesia yang mirip dengan di India.
Cerita-cerita rakyat dalam bahasa-bahasa daerah Nusantara mengenai nabi
dan para pengikut pertamanya, ujarnya, tidak hanya jauh dari nilai
sejarah, tetapi juga jauh dari nilai-nilai Arab, yangcerita asalnya
terdapat di India. Dikatakannya pula bahwa kebiasaan Muslim di Indonesia
menunjukkan beberapakesamaan dengan kebiasaanpenganut Syi‘ah di pantai
Malabar dan Koromandel, padahalorang Indonesiaadalah Ahlus Sunnah yang
dalamurusan fikih mengikut mazhab Syafi‘i.[13]
Pendapat ini sebenarnya dikemukakan pertama kalinya oleh D.J. Pijnappel, profesor bahasa Melayu pertama di universitas Leiden.[14]
Berdasarkan kisah perjalanan seorang pelaut dengan nama Sulayman
bertahun 851 Masehiserta catatan pelayaran Marco Polo dan Ibnu Battutah
yang transit di Sumatra pada paruh pertama abad ke-14(1325-1353), maka
disimpulkan bahwa kedatangan Islam mestilah melalui jalur perdagangan
dari Teluk Persia ke pantai barat India, lalu dari Gujarat dan
Malabarmasuk ke Nusantara. Dukungan bagi pendapat ini diberikan oleh
Orientalis lainbernama J.P. Moquette. Menurutnya, batu-batunisandi
Samudera Pasai yang terbuat dari pualam itu besar kemungkinannyaberasal
dari satu pabrik di Cambay-Gujarat.[15]Meskipun
lemah dan bermasalah, pendapat ini diterimaluasoleh para penulis
sejarah Indonesia, dari mulai R.A. Kern dan Stapel,H. J. Van den Bergh,
H. Kroeskamp, Prijohutomo, dan I.P. Simandjoentak sampai dengan Rosihan
Anwar.[16]
Kelemahan
pendapat tersebut ditunjukkan antara lain oleh G.E. Morrison. Ada
beberapa kejanggalan faktual terkait. Tidak mungkin Islam di Nusantara
berasal dari propinsi Gujarat, sebab Marco Polo menceritakan Cambay pada
tahun 1293 sebagai kota Hindu, sementara Gujarat baru jatuh ke tangan
orang Islam pada tahun 1297.Akan tetapi Morrison menyatakan bahwa orang
Islam sudah berabad-abad lamanya berada di selatan India, meski tanpa
kekuasaan politik, yakni mereka yang tinggal di Sailan (Ceylon atau Sri
Lanka), Malabar dan Koromandel sebelum ekspansi Kesultanan Delhi pada
awal abad ke-14. Sebagian mereka mengaku keturunan Muslim Arab asal Irak
yang mengungsi ke India demi menghindari kekejaman al-Hajjaj menjelang
akhir abad ke-7 Hijriah.Tambahan pula mazhab Syafi‘i tidak dominan di
Gujarat dan cerita-cerita rakyat Aceh lebih banyak diwarnai oleh
unsur-unsur Tamil ketimbang Hindi.Maka lebih tepat untuk mengatakan,
tulisnya, bahwa: “the provenance of Malaysian Islam is in fact Southern India.”[17]Kesimpulan Morrison ini mengantarkan kita ke pendapat berikutnya.
Pendapat kedua yang
dipegang oleh S. Qadarullah Fatimi, menyatakan bahwa Islam masuk ke
Nusantara dari Benggala.Pendapatnyaini berasaskanlaporan Tomé Pires
(1512-1515), berita-berita Cina, serta unsur tasawuf yang terdapatdi
Indonesia dan Malaysia. Menurut Fatimi, pendiri kerajaan Islam pertama
di Aceh, yaitu Merah Silau, berasal dari Benggala.
Kesimpulan ini diambilnya dari cerita Tomé Pires bahwa raja-raja di
Sumatra pada waktu itu sudah beragama Islam. Kerajaan Samudra Pasai
sendiri dulunya diperintah oleh penyembah berhala dan baru masuk Islam
sekitar 160 tahun silam (berarti sekitar tahun 1352 Masehi), selepas
kedatanganpara pedagang Muslim (the merchant Moors) yang memang
telah lama menguasai kawasan pesisir laut. Merekalah yang kemudian
mengangkat seorang Muslim asal Benggala sebagai raja di Pasai.[18]Petunjuk
lainnya adalah kebiasaan orang Nusantara memakai kain “sarung” yang
dikatakan sama dengan kebiasaan orang Benggala. Bertolak dari
sumber-sumber itu Fatimi lalu menyimpulkan bahwa “Bengal is the main
provenance of Sumatran Islam, though it does not at all exclude the
possibility of strong influences from other parts of the Islamic world.”[19]
(Baca selengkapnya di Jurnal Islamia, ‘Pembebasan Nusantara: Antara Islamisasi dan Kolonialisasi’, Vol. VII, No. 2, 2012).
[1]S.M. Naquib al-Attas, Historical Fact and Fiction (Kuala Lumpur: UTM Press, 2011), xi.
[2] C.S. Hurgronje, “De Islam in Nederlandsch-Indië,” dalam Verspreide Geschriften (Bonn: Kurt Schroeder, 1923-1927), jilid 4, bag. 2, hlm.361, cf. Islam di Hindia Belanda, terj. S. Gunawan (Jakarta: Bhatara, 1973). Ditegaskannya lagi dalam sebuah ceramah di Amsterdam bahwa: “Niet
de godsdienst van Mohammed, maar de tot rijpheid ontwikkelde Islam kan
herwaarts zijn overgekommen. … de derde eeuw onstaan (Bukan agama
Muhammad yang datang ke Nusantara ini, melainkan Islam yang sudah
berkembang matang … tiga abad kemudian)”. Cf. idem, “La propagation de
l’Islam, particulièrement dans l’archipel des Indes Orientales,” Revue du Monde Musulman 14 (1911), 381-414.
[3] Lihat Marco Polo, Cathay and the Way thither, terj. H. Yule (London, 1866), jilid 2, hlm. 284; cf. Paul Peliot, Notes on Marco Polo, I (Paris: Maisonneuve, 1959), 86.
[4] Sebagaimana
disinyalir oleh al-Attas: “Moreover, in all their theories the taint of
settled aversion towards Islam is always discernible” (Historical Fact and Fiction, hlm. xiii).
[5] Lihat J.P. Moquette, “De oudste Mohammedaansche inscriptie op Java, n.m. de graafsteen te Leran,” dalam Handeligen van het eerste congres voor taal-, land-, en volkenkunde van Java (Weltevreden, 1921), hlm. 391-399; dan Paul Ravaisse, “L’inscription coufique de Léran à Java,” dalam Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en Volkenkunde 65 (1925), hlm. 668-703.
[6]S.M. Naquib al-Attas, Historical Fact and Fiction (Kuala Lumpur: UTM Press, 2011), xi.
[7]
Sebagaimana disimpulkan oleh Seminar Sejarah Masuknya Islam ke
Indonesia yang diadakan di Medan pada 17-20 Maret 1963/21-24 Syawwal
1382 yang dihadiri oleh KASAB Jenderal A.H. Nasution, Menteri Agama K.H.
Saifuddin Zuhri, Menteri Penerangan Prof Dr Roeslan Abdul Gani, Dr H.
Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), Dr Tudjimah dan tokoh-tokoh lain.
Lihat: Prof A. Hasymy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia (Bandung: al-Ma‘arif, 1993), cet. 3, hlm. 6-8.
[8]Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-kota Muslim di Indonesia dari Abad XIII sampai XVIII Masehi (Kudus: Penerbit Menara Kudus, 2000), hlm. 15-17.
[9] Pendapat ini pertama kali dilontarkan oleh Dada Meuraxa dalam bukunya, Sejarah masuknya Islam ke Bandar Barus, Sumatera Utara(Medan:
Sasterawan, 1973), dikutip oleh Wan Hussein Azmi, “Islam di Aceh: Masuk
dan Berkembangnya hingga Abad XVI,” dalam A. Hasymy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia (Bandung: al-Ma‘arif, 1993), cet. 3, hlm. 183-184. Cf. A.H. Hill, “The coming of Islam to North Sumatra,” Journal of South-East Asia History 4 (1963), hlm. 6-21.
[10]S.M. N. al-Attas, Historical Fact and Fiction (Kuala Lumpur: UTM Press, 2011), hlm. 2-3.
[11] Al-Dimashqi, Manuel de la cosmographie du moyen-age (Copenhagen, 1923), dikutip oleh G.R. Tibbetts, A Study of the Arabic Texts containing Materials on South-east Asia (Leiden
& London: Brill, 1979), hlm. 63: “The Muslim religion came there in
the time of ‘Uthman, and the ‘Alids expelled by the Umaiyads and by
al-Hajjaj, took refuge there, having crossed the Sea of Pitch”; cf. P.Y.
Manguin, “Etudes cam. II; l’introduction de l’Islam au Campa,” Bulletin de l’Ecole Fran-çaise de’Extrême-Orient 66 (1979), 257; cf. S.M. Naquib al-Attas, Historical Fact and Fiction (Kuala Lumpur: UTM Press, 2011), hlm. 4; dan Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah(Bandung: Salamadani, 2009), hlm.105-106.
[12]C.S. Hurgronje, “L’Arabie et Les Indes Néerlandaises,” Verspreide Geschriften, jilid 4, bag. 2, hlm.106, asalnya naskah pidato berjudul: Arabie en Oost-Indië, dalam rangka pelantikannya sebagai guru besar di Universitas Negeri Leiden pada 23 Januari 1907 dan diterbitkan Revue de l’histoire des religions, tahun ke-29, bag. ke-57 (1908), 60-80. Cf. André Wink, Al-Hind: the Making of the Indo-Islamic World (1991), jilid 1, hlm. 85: “Then,
considering that the trade route went via Gujarat and Malabar, Snouck
Hurgronje and others concluded a South-Indian origin”.
[13]C.S. Hurgronje, “De Islam in Nederlandsch-Indie,” Verspreide Geschriften, jilid 4, bag. 2, hlm. 364.
[14] D.J. Pijnappel, “Over de kennis, die de Arabieren voor de Komst der Portugeezen van den Indischen archipel bezaten,” BKI 19 (1872), hlm. 135-158.
[15] J.P. Moquette, “De eerste vorsten van Samoedra-Pase (Noord Soematra),” Rapporten van den Oudheidkundigen Dienst in Nederlandsch-Indië(1913), hlm. 1-12;idem, “De Graftsteenen te Pase en Grisse vergeleken met dergelijke monumenten uit Hindoestan,” Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en Volkenkunde (TBG)54 (1912), hlm. 536-53;idem, “Fabriekswerk,” Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (VBG), LVII (1920), 44.
[16]R.A. Kern, “De Verbreiding van den Islam”, dalam Geschiedenis van Nederlandsch-Indië, ed. F.W. Stapel (Amsterdam: Joost van den Vondel, 1938), jilid 1, hlm. 313 = The Propagation of Islam in the Indonesian-Malay Archipelago, ed.
Alijah Gordon (Kuala Lumpur: MSRI, 2001), hlm. 30: “So it was in Cambay
where lived the co-religionists, to whom one turned for such matters,
where the ties of trade with India led, and from where Muslim merchants
brought Islam to the Archipelago”; H. J. van den Bergh, H. Kroeskamp, Prijohutomo, dan I.P. Simandjoentak, Asia dan Dunia sedjak 1500: Sedjarah Umum dalam Bentuk Monograph
(Jakarta: J.B. Wolters, 1954): “Kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa
agama Islam jang masuk ke Indonesia itu sesungguhnja berasal dari
Gudjarat”; Abbas Hassan, Sedjarah Tanah Air Kita Indonesia untuk Sekolah Rakjat
(Medan: Madju, 1953): “Selain Malaka mendjadi kota dagang, jang
mendjadi tempat berhimpunnja para saudagar, djuga disitu
saudagar/mubaligh Islam dari Persia dan Gudjarat sangat giat melakukan
penjiaran Islam”; Zuber Usman, Kesusas-teraan Lama Indonesia
(Jakarta: Gunung Agoeng, 1963), hlm. 15: “Jang membawa agama Islam
kesana ialah saudagar2 dari Gudjarat, sebuah tempat disebelah selatan
Bombay. Mereka datang berdagang kesini sambil mengembangkan agamanja”; Muhammad Usman el Muhammady (Teungku), Iman dan Islam: Kuliah
(Jakarta: Pustaka Agus Salim, 1963): “Islam datang ke Malaya tidak
langsung dari pusatnja, tetapi dari Gudjarat, Persia, India dan
Hadarmaut. Kedatangannja di Indonesia dan Malaya dengan perantaraan
saudagar musafir.Bukan datang special atas initiatip zending jang
teratur”; Theodor Müller-Krüger, Sedjarah Geredja di Indonesia
(Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1966), hlm. 16: “… terutama dari
India Barat ialah Gudjarat, merekalah jang menjiarkan agama ini, ketika
mereka dapat memasuki istana-istana”; Th. van den End, Ragi Carita 1: Sejarah Gereja di Indonesia th. 1500 – 1860-an
(Jakarta: Gunung Mulia, 2007), hlm. 20: “Pada abad ke-13, suatu agama
lain lagi mulai memasuki Indonesia melalui jalur perdagangan. Enam ratus
tahun sebelumnya Islam telah merebut Arabia, Mesir dan
Persia.Pedagang-pedagang di wilayah itu memeluk agama yang baru itu dan
membawanya ke pelabuhan-pelabuhan di India Barat, khususnya Cambay, di
Gujarat. Islam mulai tersebar di sana sejak abad ke-9, dan berkuasa pada
abad ke-13. Dari Gujarat, saudagar-saudagar yang beragama Islam mulai
menyebarkan agama itu di Indonesia pula”; Rosihan Anwar, Sejarah Kecil "petite histoire" Indonesia
(Jakarta: Kompas, 2009), jilid 2, hlm. 98: “Perdagangan laut yang
mewujudkan kejayaan Majapahit akhirnya menghancurkan Majapahit. Sebab,
saudagar-saudagar, para pelaut, dan orang-orang ke-ramat dari Gujarat
dan Persia membawa ke pelabuhan-pelabuhan di pantai Laut Jawa sebuah
agama baru yang bersifat egaliter, yakni Islam.”
[17]G.E. Marrison, “The Coming of Islam to East Indies,” JMBRAS 24/1 (1951), hlm. 31-7.
[18]The
Suma Oriental of Tomé Pires: an account of the East, from the Red Sea
to China, written in Malacca and India in 1512-1515; and, The book of
Francisco Rodrigues: Pilot-Major of the armada that discovered Banda and
the Moluccas: rutter of a voyage in the red sea, nautical rules,
almanack, and maps, written and drawn in the east before 1515, edited by Armando Cortesao, 2 jilid (New Delhi: Asian Educational Services, 1990): “In the island of Sumatra (Çomotora) most of the kings are Moors and some are heathens” (hlm. 137) selanjutnya: “Pase
used to have heathen kings, and it must be a hundred and sixty years
now since the said kings were worn out by the cunning of the merchant
Moors there were in the kingdom of Pase, and the said Moors held the sea
coast and they made a Moorish king of the Bengali caste, from that time
until now the kings of Pase have always been Moors; except that up till
now they have been unable to convert the people of the interior ; yet
in these kingdoms there are in the island of Sumatra, those on the sea
coast are all Moors on the side of the Malacca Channel, and those who
are not yet Moors are being made so every day, and no heathen among them
is held in any esteem unless he is a merchant” (hlm.143).
[19]S.Q. Fatimi, Islam comes to Malaysia (Singapore, 1963), 14-18 dan 23
Sumber:
http://www.insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=486:islam-di-nusantara-historiografi-dan-metodologi&catid=21:sejarah&Itemid=19
Sumber:
http://www.insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=486:islam-di-nusantara-historiografi-dan-metodologi&catid=21:sejarah&Itemid=19
Tidak ada komentar:
Posting Komentar