Mitos Kebesaran Majapahit
Sejarah
yang rinci mengenai Majapahit sangat tidak jelas. Sumber-sumbernya yang
utama adalah prasasti-prasasti berbahasa Jawa kuno, naskah Negarakertagama dan Pararaton, serta beberapa catatan berbahasa Cina. Sebagai historiografi tradisional, Negarakertagama dan Pararaton
mengandung kebenaran historis bercampur dengan kebenaran mistis.
Artinya, kedua naskah kuno ini selain berisi rekaman sejarah juga
mengandung unsur-unsur mitos, legenda, dongeng, dan sebagainya. Dalam hal ini tidak dibedakan antara fakta peristiwa yang sesungguhnya dengan “fakta” rekaan pengarangnya.
Oleh karena itu, beberapa sejarawan menyangsikan kredibilitas Negarakertagama dan Pararaton.
Prof. C.C. Berg, misalnya, memandang kedua naskah itu sebagai dokumen
dongeng-dongeng politik-religius, bukan dokumen sejarah. Menurutnya,
naskah-naskah itu tidak dimaksudkan untuk mencatat masa yang sudah
lampau, tetapi lebih dimaksudkan untuk menentukan kejadian-kejadian di
masa mendatang dengan sarana gaib. Sementara itu, W.F. Stutterheim
mengingatkan agar kita berhati-hati terhadap keterangan-keterangan yang
terdapat dalam Negarakertagama maupun Pararaton.
Negarakertagama dikarang
oleh penyair keraton Prapanca pada 1365 yang, sudah tentu, tidak mau
mencatat hal-hal yang kurang patut terhadap diri raja atau keluarga
kerajaan. Sebaliknya, ia suka melebih-lebihkan hal-hal yang dapat
mempertinggi kehormatan raja serta keluarganya yang melindungi penyair
keraton. Pararaton dikarang beberapa abad kemudian (sekitar
1613 M) setelah terjadinya peristiwa-peristiwa yang bersangkutan menurut
berbagai cerita lama dari macam-macam sumber.
Meskipun demikian, Negarakertagama dan Pararaton
tetap dipakai sebagai sumber utama penulisan sejarah Majapahit. Sebab,
tidak ada sumber tertulis lokal lainnya selengkap kedua naskah ini. Dari
sinilah mitos kebesaran Majapahit itu berasal.
Dalam
pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah, Majapahit
digambarkan sebagai kerajaan besar yang pernah membawa harum nama
Indonesia sampai jauh ke luar wilayah Indonesia. Majapahit dianggap
berhasil mempersatukan seluruh wilayah Nusantara. Wilayah kekuasaannya
membentang dari Sumatra hingga Papua. Kita patut mempertanyakan ulang,
“Benarkah fakta sejarah itu?”
Kitab Negarakertagama memang
menyebutkan daerah-daerah taklukan Majapahit. Ada tidak kurang dari 98
nama daerah yang dikatakan bergantung kepada Majapahit. Daerah-daerah
tersebut diwajibkan membayar upeti. Menurut W.F. Stutterheim dalam Het Hinduisme in den Archipel, daerah
yang dekat dari pusat kekuasaan Majapahit, seperti Bali, selalu
terancam dengan serangan tentara yang dikirimkan untuk menghukum jika
tidak membayar upeti. Tetapi bagi daerah-daerah yang jauh sekali
letaknya, kewajiban tadi tentu banyak yang disia-siakan. Selama
Pemerintah Pusat masih kuat dan mempunyai alat kekuasaan yang cukup,
upeti akan terus mengalir. Akan tetapi apabila kekuasaan menjadi kurang
kuat, upeti pun juga berkurang, sehingga sumber penghasilan menjadi
kering sama sekali.
Kekuasaan
Majapahit yang diakui orang biasanya hanya di daerah pantai. Di daerah
yang letaknya lebih ke pedalaman, kepala suku dan raja daerah tersebut
merdeka sama sekali dan tidak merasa terikat kewajiban membayar upeti
dengan Majapahit. Bahkan, daerah Sunda, yang letaknya masih satu pulau
dengan Majapahit, tidak pernah takluk dan menjadi wilayah bawahan
kerajaan itu. Semua ini menunjukkan bahwa penaklukan yang dilakukan
Majapahit adalah penaklukan semu. Banyak daerah yang tidak benar-benar
takluk dan tunduk kepada Majapahit.
Kalaupun beberapa kerajaan mau membayar upeti, itu lebih didorong oleh alasan pragmatis. Bernard H.M. Vlekke dalam Nusantara: A History of Indonesia menyatakan,
sebagian besar penguasa kecil di kerajaan-kerajaan pantai merasa bahwa
hubungan mereka dengan Jawa (Majapahit) patut dibanggakan dan sekaligus
menguntungkan. Para penguasa, misalnya kepala-kepala suku di pulau-pulau
kecil Maluku, mungkin saja berusaha tampak penting di mata
pejabat-pejabat Jawa dengan mendaftarkan banyak tempat yang lebih jauh
dan terpencil sebagai daerah bawahan mereka karena semakin panjang
daftarnya, semakin besar pula kejayaan mereka. Omong kosong mereka
mungkin akan mengakibatkan biaya yang lebih besar dalam jumlah rempah
yang harus dibayarkan sebagai upeti. Akan tetapi, hal ini juga bisa
meningkatkan “penghargaan” yang akan mereka terima dalam bentuk
barang-barang Jawa yang mereka butuhkan sendiri atau untuk dijual eceran
di antara orang-orang yang tinggal di pulau-pulau di timur yang tidak
terbilang banyaknya itu.
Klaim
bahwa Majapahit berhasil mempersatukan seluruh wilayah Nusantara
agaknya menjadi sesuatu yang kontradiktif jika kita mencermati keadaan
intern Majapahit sendiri. Majapahit selalu dilanda pemberontakan dan
konflik intern. Sebut saja antara lain: pemberontakan Rangga Lawe
(1309), pemberontakan Sora (1311), pemberontakan Juru Demung (1313),
pemberontakan Gajah Biru (1314), pemberontakan Nambi (1316),
pemberontakan Semi dan Kuti (1319), pemberontakan Sadeng (1331), dan
perang Paregreg (1401-1406). Yang terakhir ini bahkan melemahkan
kekuasaan Majapahit dengan drastis. Jika mempersatukan intern kerajaan
saja tidak bisa, apalagi mempersatukan Nusantara yang jauh lebih luas? Menurut Vlekke, pada kenyataannya kekuasaan riil raja-raja pertama Majapahit sangat jauh dari klaim tersebut.
Pada
masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350-1389), memang Majapahit berhasil
menghentikan konflik intern dan meraih puncak kejayaannya. Banyak daerah
dipaksa takluk di bawah kekuasaannya. Meskipun demikian, luas seluruh
daerah tersebut tetap tidak seluas Indonesia hari ini. Persatuan yang
dipaksakan itu pun hanya berlangsung selama 39 tahun. Umur Majapahit
juga hanya 227 tahun. Selama itu, Majapahit hanya berkuasa di bidang
politik, tapi tidak berhasil mengembangkan pengaruh budayanya ke seluruh
wilayah Nusantara. (***)
Sumber:
http://www.insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=144:mitos-kebesaran-majapahit&catid=21:sejarah&Itemid=19
Tidak ada komentar:
Posting Komentar